Senin, 28 Maret 2011

KONTEKSTUALISASI SUNNAH NABI DALAM KEHIDUPAN MODEREN


Oleh alamsyah


A. Pengantar
Kajian hadis Nabi pada zaman moderen, yang ditandai dengan rasionalisme, sains, dan positivisme, menghadapi tantangan berat. Problem tantangan bukan saja yang bersifat klasik seperti Inkarussunnah dan sebagian Orientalis-Islamolog yang picik, tetapi problem tersebut juga bersumber dari internal muhaddisin sendiri dengan pola kajian hadis yang stagnan dan rigid. Karakter Sunnah Nabi bersifat praktis (‘amali), detil (tafsīli) dan komplit (syumūli) lalu disimpulkan sebagai ajaran yang telah final, sehingga Sunnah nabi sulit menjadi sumber ajaran Islam yang relevan di setiap waktu dan tempat (salih li kulli zaman wa makan).
Agar kajian hadis Nabi kembali menjadi ilmu primadona dan mempesona, sebagaimana pada era klasik, maka ilmu hadis harus mampu melakukan peran yang signifikan dan memberikan kontribusi nyata bagi peningkatan nilai-nilai kemanusiaan. Untuk itulah, maka kajian pemahaman dan penerapan hadis Nabi di dunia moderen harus dikembangkan sesuai tuntutan konteks kekinian.

B. Ilmu Hadis dalam Bingkai Ilmu-Ilmu Keislaman
Sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan adalah Allah SWT yang Maha Tunggal dan Maha Mengetahui. Dia lalu menurunkan petunjuk dan pengetahuannya melalui dua macam sumber perantara; yaitu wahyu tertulis (kitab suci al-Qur’an) dan wahyu tidak tertulis (alam semesta atau kauniyah). Jika wahyu formal atau kitab suci lebih bersifat argumen deduktif apriori, maka wahyu kauniyah lebih berupa argumen data induktif empiris aposteriori. Dalam lingkup demikian, maka Sunnah Nabi menjadi metode sekaligus contoh praktis dari Nabi dalam mengimplementasikan dua sumber petunjuk tsb (Kitab suci dan kauniyah). Nabi Saw mendialektika-kan wahyu dan alam semesta.
Jadi Sunnah Nabi memiliki dua sisi, yaitu metode - pola (tariqah, manhaj) dan praktek - implementasi (‘amal, tathbiq). Sedangkan hadis hanya merupakan media berita atau informasi yang menyampaikan Sunnah Nabi kepada kita.
Oleh karena itu, maka yang perlu dikaji dan diteliti lebih dahulu memang adalah proses penyampaian informasi tentang Nabi kepada kita, dan kajian itu dinamakan ‘Ilmu al-Hadis (‘Ulum al-Hadis). Sedangkan tujuan pokok kajian hadis tersebut tidak lain untuk menemukan informasi Sunnah Nabi yang valid dan otentik, untuk kemudian dapat dipahami dan diamalkan secara tepat (relevan) di setiap waktu dan tempat (seperti dunia moderen saat ini). Skema tahapan kajian ‘Ilmu Hadis sampai kepada tahap menemukan Sunnah Nabi adalah Sejarah hadis - Kritik otentisitas – Fahmul Hadis Tathbiq.
1
C. Pola Kajian Hadis Nabi
Seharusnya dua aspek Sunnah Nabi (metode nabi dan contoh prakteknya) dipelajari seimbang, namun ulama masa lalu lebih mengkaji aspek praktek yang bersifat harfiyah-teknis-sektoral, dan  kurang memperhatikan aspek metode dan pola pikir Nabi yang bersifat substansi-komprehensif. Maka kajian Sunnah Nabi lebih terfokus mendalami berita tentang nabi dalam berbagai bentuknya: ucapan, perbuatan dan ketetapan Nabi. Akibatnya Sunnah Nabi Nabi pun menjadi hadis dan didefinisikan seperti hadis, yaitu “semua yang berasal/disandarkan kepada Nabi SAW baik ucapan, perbuatan, ketetapan, sifat, dan semisalnya”. Padahal hadis hanya media teks  dan informasi yang dibawa periwayat dan ditransmisi dari satu generasi ke generasi berikutnya,[2] dan belum tentu menjadi Sunnah Nabi.[3] Apalagi ketika ilmu hadis diciutkan menjadi Ilmu Mushthalah al-Hadis, maka materi muatannya  ikut mengerut hanya berkutat di seputar kajian sanad (exsternal aspect of hadith) seperti pengertian hadis, macam-macam hadis baik kualitas dan kuantitas, syarat-syaratnya, hadis palsu dan tanda-tandanya, dll, sehingga hampir melupakan tujuan pokok mempelajari hadis itu sendiri, yaitu menemukan Sunnah Nabi untuk kemudian dipahami secara tepat, dijadikan sumber ajaran Islam dan menerapkannya secara relevan.
Ketika ulama menghadapi gerakan pemalsuan hadis yang merajalela di masa lalu, maka dapat dimaklumi jika semua upaya energi mereka dikerahkan untuk mengatasinya, sehingga lebih banyak membahas validitas dan otentisitas hadis dari aspek sanad. Namun ketika hadis telah terkompilasi secara baik dalam berbagai literatur  hadis (al-kutub al-khamsah, al-sittah, al-sab’ah, al-tis’ah, dst) dengan berbagai kategori kualitasnya, apalagi saat ini telah terprogram secara digital dalam berbagai software, maka sudah waktunya kajian hadis lebih diarahkan kepada bagaimana memahami dan menerapkan informasi dalam hadis secara tepat, sehingga benar-benar dapat menghidupkan Sunnah Nabi sebagai pedoman hidup.
Untuk dapat mengkaji secara ilmiah (sebagaimana imam al-Bukhari telah melakukannya dengan landasan niat ikhlas beliau untuk menghidupkannya), maka hadis harus diposisikan kembali sesuai dengan makna dasarnya, yaitu informasi, berita, media, yang saat ini berupa teks. Bagaimanapun, harus disadari bahwa penyusunan redaksi teks informasi tersebut lebih banyak merupakan hasil kreasi para periwayat (penerima dan penutur yang menyampaikan) yang lazim dinamakan al-riwayah bil makna, sesuai dengan tingkat pemahaman si rawi terhadap hadis yang diterimanya. Hanya sedikit teks redaksi hadis yang dituturkan para periwayat persis seperti diucapkan oleh Nabi SAW.
Artinya, memahami hadis harus memahami proses periwayatan,  mulai dari konteks Nabi sebagai sumber munculnya hadis, konteks periwayat sebagai penutur berita hadis dalam berbagai aspeknya, dan konteks kita zaman sekarang sebagai pembaca yang akan memahami dan mengamalkannya. Oleh karena itu, pendekatan berbagai keilmuan baik sosial maupun kealaman sangat diperlukan dalam memahami hadis pada saat ini, termasuk pendekatan hermeneutika yang bagi sebagian orang dianggap “haram”. Dengan semakin integratif pola mengkaji suatu persoalan, maka semakin kecil peluang kekeliruan dan semakin besar kesempatan menemukan kebenaran.
Jika memang pendekatan multi disipliner dan interdisipliner yang harus dilalui, maka cara pemahaman hadis yang tepat untuk itu tidak lain adalah metode kontekstual dan bukan pemahaman harfiyah-tekstual. Pencarian substansi Sunnah Nabi inilah yang telah dilakukan umat Islam generasi awal (salaf) dan yang telah membawa mereka kepada kesuksesan dalam membangun peradaban, sains, ilmu keagamaan, sosial dan budaya.

D. Metode Umat Islam Masa Awal dalam Mmengamalkan Sunnah
Upaya penafsiran terhadap Sunnah Nabi telah terjadi sejak masa awal Islam. Ketika para sahabat pulang dari peperangan, maka Nabi SAW berpesan agar jangan ada sahabatnya yang salat Zuhur (sebagian riwayat menyatakan salat ‘Asar) di perjalanan kecuali setelah sampai di kampung bani Quraizah. Sebagian sahabat memang melakukannya, namun sebagian lainnya tetap salat di tengah perjalanan. Nabi SAW ternyata tetap membenarkan kedua kelompok sahabatnya.
Ketika dihadapkan kepada tantangan sosiologis dan politis yang semakin kompleks, maka ‘Umar ibn al-Khathab harus melakukan terobosan baru dalam membuat kebijakan dengan tetap berpedoman kepada Sunnah Nabi. Saat itu wilayah Islam semakin luas, keuangan negara melimpah, populasi meningkat yang diikuti penyempitan wilayah pertanian, di samping terjadi pertemuan dengan beragam kehidupan sosial budaya baru. Dalam situasi demikian, maka ‘Umar tidak memberikan tanah rampasan perang kepada pasukan muslim, padahal praktek di zaman Nabi SAW adalah diberikan. ‘Umat juga tidak menjatuhkan hukuman hadd potong tangan kepada pencuri yang melakukannya karena krisis paceklik, dan beliau juga pernah tidak memberikan hak zakat kepada mu’allaf.[4] Di sini ‘Umar bukan meninggalkan Sunnah Nabi apalagi menentangnya, namun beliau menafsirkan Sunnah Nabi secara kreatif untuk kemudian diterapkan secara tepat sesuai dengan tantangan yang dihadapi pada waktu itu. Walaupun secara lahiriah seolah ‘Umar telah meninggalkan Sunnah Nabi, namun pada substansinya beliau tetap mengaktualkan ruh dan misi Nabi SAW, yaitu menegakkan keadilan sosial.
Imam al-Qarāfī, ulama besar abad tengah (w. 684 H/1254 M) memperkenalkan 4 tipologi dalam memahami Sunnah Nabi, yaitu posisi Nabi sebagai: (1) seorang Nabi, (2) seorang mufti, (3) seorang hakim, dan (4) seorang kepala negara.[5] Dalam model pemahaman ini, keputusan Nabi dapat bersifat mengikat dan ada yang tidak lagi mengikat. Gagasan baru al-Qarāfi dalam memahami Sunnah ternyata didukung oleh ulama lain pada era ini bernama Ibn al-Qayyim al-Jaużiyah (w. 751 H).[6] Tokoh lain abad pertengahan yang menawarkan pemahaman baru terhadap fungsi dan otoritas Sunnah Nabi adalah Abū Isĥak al-Syāţibī (w. 790 H/1388 M), dengan konsep Al-Qur’ān berfungsi sebagai ta’şīl sedangkan Sunnah Nabi adalah sebagai tafsīl, sehingga melahirkan Maqāşid al-Syarī’ah. [7]

E. Tantangan Umat Islam di Dunia Moderen
Memasuki era moderen, umat Islam mulai bersentuhan dengan perkembangan baru dalam berbagai aspek kehidupan, seperti rasionalisme dan nasionalisme, dan perubahan sosial budaya. Anomali semakin terasa ketika umat Islam memasuki era globaliasasi dan informasi yang membawa berbagai gagasan seperti demokrasi, pluralisme, dan HAM. Dalam lingkungan masyarakat global ini, umat Islam tidak bisa lagi hidup ekslusif, monolitis, dan diskriminatif. Ajaran Sunnah dalam hadīs yang dibangun atas dasar epistemologi era klasik (teosentris, negara teologis, homogen, ekslusif) tentu banyak menghadapi persoalan ketika dihadapkan pada kasus atau gagasan baru yang dibangun atas dasar epistemologi moderen. Apalagi saat pemikiran tersebut lebih didominasi pola pikir pragmatis yang tegak di atas fondasi positivisme yang anti metafisis. Di sini nilai-nilai ajaran Sunnah ditantang untuk memberikan solusi yang logis-rasional namun tetap orisinal, sehingga Islam tidak dituding sebagai agama yang mengajarkan kekerasan, teror dan diskriminatif.


F. Membangun Kajian dan Pemahaman yang Relevan
Banyak pilihan dilakukan dalam memahami Sunnah, seperti reinterpretasi, takwil dan tekstual. Metode Re-interpretasi (secara jujur mengakui dan memahami sikon zaman Nabi apa adanya, sbg ijtihadnya, bisa benar dan salah, setelah dilihat dari berbagai ilmu soosial dan budaya thdp konteks waktiu itu- maka zaman sekarang dapat diamalkan jika sesuai dan boleh tidak jika tidk sesuai,  misalnya hadis lalat. atau, memahami semua kebijakan nabi tetap tepat, sempurna, final, tidak salah, apapun dan bagaimanapun, namun teknik pengamalannya boleh beda dan disesuaikan dg zaman sekarang). Metode Ta’wil misalnya ditempuh oleh Muhammad syahrur dalam penafsiran hadistentang makanan dan inuman dengan produksi dalam negeri, sedangkan metode Tekstual dilakukan oleh sebagian muslim, khususnya ahli hadis, yang lebih mementingkan bentuk dan cara dari pada isi atau substansi.
Hal mendasar yang harus dikaji ulang dalam studi hadis adalah aspek Epistemologi Sunnah Nabi (sumber dan asal usul). Selama ini Sunnah Nabi hanya dilihat dari aspek praktis atau produk saja, sehingga Sunnah Nabi hanya didefinisikan sebagai bentuk dari ucapan atau perbuatan atau sikap tertentu dari Nabi Saw. Akibatnya, ketika Sunnah Nabi dipahami untuk diamalkan, maka yang muncul adalah pemahaman dan pengamalan secara lahiriah, tekstual dan tidak pernah ada perubahan walaupun tuntutan keadaan dan perubahan waktu terus terjadi. Seharusnya kemunculan suatu Sunnah Nabi lebih dilihat dari aspek metodenya sebagai ijtihad, bukan hasilnya. Untuk itu, Syahrur menyatakan Sunnah Nabi harus didefinisikan sebagai berikut:
“Ijtihād Nabi dalam menerapkan hukum-hukum yang terdapat di dalam Umm al-Kitab, baik berupa ĥudūd, ibadah, dan akhlak, dengan memperhatikan realitas obyektif di mana beliau hidup, berkisar di antara ĥudūd atau langsung mengambil ĥudūd yang telah ada, atau membuat ĥudūd sementara jika tidak ada di dalam al-Qur’ān”.

Beberapa karakter Sunnah Nabi dari batasan tersebut adalah:
(1)  Sunnah Nabi adalah metode Nabi SAW yang bersifat deduktif dalam melaksanakan hukum yang terdapat dalam al-Qur’ān. Oleh karena itu, apa yang dinamakan sebagai Sunnah Nabi bukan teks, tentang ucapan, perbuatan atau ketetapan Nabi SAW sehari-hari yang bersifat harfiyah, sebab semua itu hanya merupakan bentuk-bentuk (syakl atau form) ekspresi atau perwujudan yang bersifat praktis dari pola pikir atau paradigma Sunnah Nabi tersebut, yang tidak lain adalah ijtihād beliau sendiri. Ekspresi dan ungkapan tersebut dapat selalu berubah-ubah, sementara pola dan paradigma pemikiran lebih bersifat tetap.
(2)  Oleh karena Sunnah Nabi adalah metodenya dalam berijtihād, maka makna “mengikuti Sunnah Nabi” atau “mengikuti teladan (uswah) Nabi” tidak lain adalah mengikuti metode (manĥaj) ijtihādnya dan mewujudkan substansi dari tujuan Sunnah itu sendiri,[8] dan bukan mengikuti segala ucapan atau perbuatannya sehari-hari yang bersifat harfiyah, formal dan verbal. Mengikuti Sunnahnya dan “uswah hasanah”nya
(3)  Sunnah Nabi adalah selalu terbuka untuk dikembangkan, dilengkapi bahkan dimodifikasi, sehingga penerapannya mudah dan ringan. Oleh karena Nabi SAW telah berijtihād dalam menerapkan ĥudūd yang terdapat di dalam al-Qur’ān atau berijtihād membuat aturan sementara bagi masalah yang tidak ada ĥudūd-nya dalam al-Qur’ān, maka apa yang telah ditetapkan dan dilakukan oleh beliau di Jazirah  Arab  abad  ke  7  M hanya merupakan alternatif pilihan pertama (al-iĥtimāl al-awwal) dalam menegakkan ajaran Islam untuk pada periode historis tertentu. Oleh karena itu, apa-apa yang telah diputuskan dan ditetapkan oleh Nabi SAW pada saat itu bukan satu-satunya (al-wahīd) pilihan dan tidak pula sebagai putusan terakhir (al-akhīr), walaupun beliau merupakan penutup para Nabi dan rasul. Apa yang telah beliau lakukan tidak lain adalah dengan tujuan untuk memelihara kelangsungan misi kerasulan dan kenabian sampai hari kiamat.

Beberapa contoh hadis yang harus dipahami secara kontekstual, antara lain adalah tentang ketentuan Mahram bagi perempuan yang akan melakukan perjalanan tertentu. Hadis dimaksud berbunyi:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ ثَلَاثًا
 إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ [9]

          Artinya: “Janganlah perempuan itu bepergian selama tiga hari kecuali bersama mahram yang mendampinginya”.
         
Memang hadis di atas memiliki banyak redaksi matan yang berbeda-beda, tetapi intinya melarang perempuan keluar rumah sendirian. Munculnya larangan Nabi tersebut harus dipahami latar belakangnya, yakni ketika situasi perjalanan tidak aman seperti perjalanan sendirian di tengah padang pasir. Namun ketika situasi sudah aman dan perjalanan tidak ada gangguan, maka ketentuan tersebut tentunya tidak berlaku lagi, sehingga hal yang semula dilarang oleh Nabi Saw dapat berubah menjadi kebolehan.
Dalam dunia moderen saat ini, hubungan antar umat manusia harus dibangun di atas dasar paradigma kemanusiaan dan kesetaraaan sehingga tidak dibenarkan ada sikap dan prilaku intimidasi, pemaksaan atau diskriminasi. Dalam konteks ini maka hadis yang memerintahkan agar orang murtad (pindah agama) dihukum mati, harus diterapkan dalam konteks pengkhianatan.
Hadis dimaksud adalah:
عَنْ ابْنَ عَبَّاسٍ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ     [10] 
 Konteks hukuman mati demikian terjadi pada zaman Nabi di mana saat itu antara umat Islam dan non muslim berada dalam situasi peperangan dan permusuhan terus menerus. Seorang muslim yang kembali kepada musyrik kekafiran dikhawatirkan akan membocorkan rahasia kekuatan dan kelemahan umat Islam kepada kaum musyrik Mekah saat itu.  Hal ini tentu sangat berbahaya, sehingga pelaku murtad dianggap pengkhianat yang harus dihukum mati. Namun ketika perbuatan murtad dilakukan bukan karena pengkhianatan, melainkan murni faktor kedaran dalam agama, atau faktor sosial dan ekonomi, seperti yang banyak terjadi di Indonesia, maka pelakunya tidak boleh dihukum mati. Apalagi jika dikaitkan dengan prinsip al-Qur’an yang menegaskan tidak boleh ada paksaan dalam agama.
Pemahaman serupa juga dapat diterapkan terhadap hadis yang memerintahkan agar melakukan tindakan diskriminatif terhadap kaum Yahudi dan Nasrani. Hadis dimaksud menyatakan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ فَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِي طَرِيقٍ فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ [11]

Artinya: “Janganlah kalian memulai ucapan salam kepada orang Yahudi dan Nasrani. Jika kalian bertemua salah seorang mereka di jalan maka desaklah mereka ke jalan yang paling sempit”.

Sikap Rasul yang demikian keras dapat dimaklumi, karena saat itu hubungan antara umat Islam dan Yahudi serta Nasrani sangat panas penuh dengan kecurigaan dan permusuhan. Namun ketika Rasul berhadapan dengan non muslim (zimmi) yang baik maka beliau juga memperlakukan dengan penuh hormat, toleran dan melindungi. Dengan demikian, ketentuan diskriminatif terhadap non muslim tidak berlaku selamanya, melainkan hanya untuk situasi khusus. Pada saat umat Islam dan umat lainnya di Indonesia harus membangun hubungan baik, toleran dan saling melindungi, maka sikap dan prilaku yang harus dikembangkan antara umat beragama tentunya adalah saling menghormati dan menghargai dengan perlakuan yang setara dan sederajat, tidak ada perlakuan diskriminatif yang merugikan.
Sangat banyak hadis yang harus dipahami secara konteks tertentu, seperti hadis tentang perempuan (gender), ekonomi, maupun terkait dengan sosial dan budaya.

G. Penutup: Peran IAIN/UIN dalam kajian Hadis di era modern
Peran IAIN/UIN dalam pengembangan kajian hadis di Indonesia, sangat signifikan, apalagi dengan adanya jurusan Tafsir dan Hadis. Banyak tokoh besar hadis yang ternama muncul dari kalangan IAIN, seperti Hasbi as-shiddiqi dan Syuhudi Ismail. Sebenarnya kajian hadis di lembaga pendidikan tinggi di Indonesia memiliki karakter lokal keindonesiaan yang sekaligus menjadi keunggulan, karena dilakukan dengan interdisipliner, seperti pendekatan ilmu sosial dan budaya. Dengan demikian, maka kajian hadis semakin berkembang dan berkualitas, bukan hanya menjadi hapalan secara kuantitatif.



[1]Makalah disampaikan dalam Kuliah Umum Fak. Ushuluddin IAIN Raden Intan Bandar Lampung, pada hari Kamis, 28 Agustus 2008.
[2]Maka periwayatan hadis, baik menerima maupun menyampaikan, perlu kehati-hatian ekstra tinggi, agar tidak mengulang bagian sejarah kelam masa silam yang benyak terjadi manipulasi hadis di dalamnya.
[3]Maka ada istilah, “Imam Auza’i adalah ahli dalam hadis tetapi tidak ahli dalam sunnah, imam al-Tsauri adalah ahli dalam sunnah tetapi tidak dalam hadis, sedangkan imam Malik adalah ahli kedua-duanya”.
[4]Lihat Malik ibn Anas, al-Muwaththa’ (Kairo: 1951) Juz II,  h.. 776.
[5]Lihat: Syihāb al-Dīn al-Qarāfi, Kitāb al-Furūq (Kairo: Dār al-Ma’rifah, tt) juz I, h. 105-208.
[6]Ibn al-Qayyim, Zad al-Ma’ad,  juz III, h. 422.
[7].Lihat  al-Syāţibī, al-Muwāfaqāt fī Uşūl al-Syarī’ah (Beirut: Dār al-Fikr, 1987) juz II, h. 7.
[8] Lihat: Syahrur, NahwUshula l_Jadidah lil Fiqh al-Islami, Al-Ahali, Damaskus, 1992 , h. 106.
[9]Lihat dalam Sahih Muslim dengan hadis nomor 2381

[10]Teks hadis tersebut berarti “Barang siapa mengganti agamanya maka bunuhlah dia”. Hadis tersebut riwayat al-Bukhari dengan nomor 2794.
[11]Riwayat Muslim dengan nomor hadis 4030 yang

KERAGAMAN MUSHAF AL-QUR’AN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP DINAMIKA PEMIKIRAN ISLAM


KERAGAMAN MUSHAF AL-QUR’AN DAN IMPLIKASINYA
TERHADAP DINAMIKA PEMIKIRAN ISLAM
Oleh Alamsyah


Kebolehan untuk berbeda dalam bacaan al-Qur’an dan penulisan mushaf pada masa Nabi SAW dan era sahabat menjadi langkah awal prinsip kebebasan yang mendorong lahirnya kreatifitas, inovasi dan ijtihad dalam Islam. Kejayaan peradaban Islam masa lalu muncul dari adanya semangat untuk terus melakukan penemuan dan rekonstruksi pemikiran serta didukung oleh lingkungan yang memberikan kebebasan dalam berpikir, berekspressi dan berpendapat. Oleh karena itu, pemikiran Islam tidak pernah berhenti, tetapi harus mengalami pembaruan terus menerus. Semua tingkat kemajuan itu tidak lepas dari pengaruh pola pemikiran atau pemahaman Islam yang logis, rasional dan kontekstual. Ketika nalar sehat dan berpikir logis - kritis dibungkam, saat pembakuan telah berubah menjadi pembekuan, maka kemunduran bahkan keruntuhan peradaban tidak lagi dapat dihindari.
Kata kunci: Mushaf, Sab’ah Ahruf, Tekstual dan Kontekstual


I. PENDAHULUAN
Perbedaan dalam membaca al-Qur’an dan dalam menulis mushaf telah terjadi sejak masa awal, yakni zaman Nabi Muhammad SAW. Wahyu yang diterima oleh Beliau memang telah disampaikan kepada para sahabat. Namun ketika para sahabat membaca dan menulis al-Qur’an itu, ternyata sering berbeda satu sama lain. Perdebatan keras bahkan cenderung menjadi konflik tentu tidak dapat dihindari, tetapi Nabi SAW justru meresponnya dengan cara sangat bijak, di mana Beliau membolehkan dan memberikan kelonggaran untuk berbeda. Maka muncul beragam bacaan al-Qur’an di kalangan sahabat, demikian pula lahir banyak catatan al-Qur’an atau mushaf yang satu dengan lainnya sering berbeda, baik susunan dan jumlah surat atau ayat, bunyi bacaan lafaz dalam ayat, perbedaan kata-kata tertentu, perbedaan bunyi, dan sebagainya. Namun ketika khalifah Utsman melihat perbedaan sudah mengarah kepada suasana perpecahan, maka dilakukanlah penyeragaman dan dibuatlah mushaf al-Qur’an standar yang populer sampai saat ini sebagai Mushaf Utsmani.
Tentunya suasana dan sikap yang mentolerir kebebasan dalam bacaan dan tulisan al-Qur’an, yang diperjuangkan oleh sahabat Nabi seperti Ibn Mas’ud,  berdampak terhadap pembentukan pola pemikiran pengikutnya dari kalangan umat Islam masa sesudahnya. Hal demikian juga terjadi pada sikap dan pandangan yang mengedepankan keseragaman mushaf serta hanya boleh mengacu kepada mushaf standar Utsmani, tentu berdampak terhadap dinamika dan keluasan pemikiran Islam pada masa berikutnya. Fenomena perbedaan dalam bacaan dan tulisan mushaf al-Qur’an masa Nabi dan sahabat serta dampaknya terhadap dinamika pemikiran Islam sesudahnya akan dikaji dalam tulisan ini.


II. PLURALITAS MUSHAF AL-QUR’AN ERA NABI DAN SAHABAT
A. Konsep Wahyu, al-Qur’an dan Mushaf

Untuk dapat memahami terjadinya perbedaan mushaf secara logis dan kritis, maka harus dipahami lebih dahulu konsep wahyu, al-Qur’an dan mushaf itu sendiri.

1. Wahyu
Wahyu dalam bahasa Arab berakar dari fi’il madhiWaha”, yang berarti penyampaian pengetahuan kepada orang lain secara samar dan rahasia, dan orang itu memahami apa yang diterimanya.[1] Substansi pewahyuan adalah penyampaian informasi secara tersembunyi, dan oleh karena itu maka apa yang diwahyukan hanya dapat dipahami oleh Tuhan yang menyampaikan dan Rasul yang menerimanya. Sedangkan substansi informasi pengetahuan tersebut tidak lain adalah ajaran-ajaran dari Allah SWT sebagai petunjuk untuk kehidupan umat manusia.
Dalam perdebatan ilmu kalam selalu muncul persoalan apakah zat Allah SWT memiliki sifat atau tidak. Namun hampir semua ilmuawan muslim sepakat bahwa wahyu Allah SWT adalah azali, tanpa lafaz yakni tidak ada awal dan tidak ada akhir, tidak menggunakan bahasa tertentu (la lughat), tidak berhuruf (la harfa), dan tidak berbentuk suara tertentu (la shauta). Kesimpulannya: Wahyu adalah kalam Allah atau firman Allah tanpa lafaz (suara, huruf, dan bahasa). Oleh karena  proses pewahyuan terjadi demikian rahasia, tanpa bahasa verbal dan di alam azali, maka wahyu berada di luar analisis ilmiah.
Bentuk-bentuk wahyu beragam, yaitu berupa isyarat  (Q.Surat Maryam : 11), ilham,  (Q. Surat Qashash: 7), bisikan, (Q. Surat Al-An’am : 12) dan (4) pesan (Q. Surat Al-Anfal: 12).


2. Al-Qur’an
Kebanyakan ulama, seperti Subhi Al Salih, mendefinisikan Al-Qur'an sebagai “Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir di mana membacanya termasuk ibadah”.
Wahyu Tuhan yang diterima oleh Rasul SAW sebagai pengemban amanah harus disampaikan kepada manusia. Wahyu atau pesan Tuhan,  yang semula tanpa lafaz dan hanya dipahami oleh Rasul SAW, ketika disampaikan kepada manusia harus menggunakan lafaz bahasa tertentu, agar dapat diterima dan dipahami oleh mereka. Dalam konteks al-Qur’an ini, sistem bahasa yang digunakan adalah bahasa Arab karena memang audiens awal adalah masyarakat Arab.
Jika proses komunikasi Tuhan dengan Rasul SAW, atau peyampaian wahyu, menggunakan bahasa rahasia, bahasa parole, maka komunikasi atau penyampaian wahyu kepada masyarakat Arab sudah menggunakan bahasa natural keduniaan, dan itulah bahasa masyarakat Arab. Dalam teori Muhammad Syahrur, proses penurunan wahyu ketika masih di alam azali dari Allah SWT kepada malaikat di langit dunia disebut dengan al-Tanzil. Sedangkan proses penurunan wahyu dari langit ke alam dunia, oleh Syahrur, dinamakan al-Inzal.
Wahyu yang sudah diterima oleh Rasul SAW lalu disampaikan (dibacakan) kepada manusia dalam bentuk bahasa Arab inilah yang kemudian dinamakan al-Qur’an. Dengan kata lain, al-Qur’an adalah wahyu Tuhan yang sudah terucap secara lisan dan dibaca dalam bahasa Arab.
Dalam membaca al-Qur’an secara lisan ini, tentu audiens masyarakat Arab memiliki kemampuan, keahlian, pengetahuan dan kebiasaan berbeda. Oleh karena perbedaan itu maka dapat dipahami dan dimaklumi jika kemudian Rasul SAW memberikan keleluasaan dan kebebasan kepada para sahabat untuk berbeda dalam membaca lafaz-lafaz al-Qur’an sesuai dengan dialek-dialek bahasa Arab yang beragam, sepanjang masih memiliki tujuan makna yang sama. Kelonggaran yang diberikan oleh Nabi SAW dalam membaca lafaz-lafaz al-Qur’an tertuang dalam sabda beliau  yang berbunyi: “ Sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah al-Qur’an itu dengan cara mudah”.[2]
Penyampaian pesan Allah SWT, dalam bentuk bacaan al-Qur’an kepada manusia tentunya masih menggunakan bahasa lisan atau bahasa oral. Setiap kali menerima wahyu, maka Nabi SAW kemudian membacakannya kepada para sahabat, dan mereka pun menghapalnya. Tradisi lisan atau menghapal dalam masyarakat Arab merupakan tradisi mulia dan lebih populer melebihi tradisi tulis. Ketika bacaan al-Qur’an dalam bentuk lisan beralih dan dituangkan ke dalam bentuk tulisan maka muncul konsep mushaf.

3. Mushaf
Kata Mushaf  atau Shuhuf  berasal dari bahasa Arab Selatan kuno. Kata shuhuf  bentuk jamak dari shahifah yang berarti selembar bahan yang digunakan untuk tempat menulis, tetapi berbagai lembaran tersebut masih terpisah-pisah tidak terjilid.[3]
Mushaf  al-Qur’ān adalah berbagai lembaran yang memuat catatan tentang ayat-ayat al-Qur’ān yang masih terpisah-pisah dan tidak dijilid atau dibukukan dalam satu buku khusus.
Jadi mushaf adalah kumpulan wahyu al-Qur’an dalam bentuk catatan tertulis. Dalam konteks ini, jika al-Qur’an bersifat terbuka maka mushaf merupakan wahyu tercatat yang sudah tertutup. Al-Qur’an dibaca dan dihapal secara lisan oleh para sahabat Nabi dengan berbagai bacaan yang berbeda, baik baris/harakat, huruf, maupun lafaz/kata. Sedangkan mushaf merupakan bacaan dan catatan al-Qur’an menurut versi tertentu yang bentuknya sesuai dengan pengetahuan atau kebiasaan sahabat yang mencatatnya.
Pada awalnya bentuk mushaf al-Qur’an beragam atau bermacam-macam. Namun nantinya pada era khalifah Utsman mushaf yang beragam itu diseragamkan menjadi satu mushaf, yang sampai saat ini dikenal sebagai Mushaf Utsmani. Ketika standarisasi mushaf terjadi, maka dampaknya tidak sebatas penyeragaman bentuk, tetapi juga berpengaruh terhadap pembatasan dalam pemahaman dan keleluasaan dalam mengungkapkan bacaan al-Qur’an dan pemaknaannya. Di sinilah Arkoun menegaskan bahwa penyeragaman mushaf sebenarnya berakibat kepada upaya penyeragaman pemahaman, dan lebih jauh lagi pembakuan mushaf tersebut juga dapat berakibat kepada pembekuan pemikiran.

B. Keragaman Penulisan al-Qur’an
Catatan-catatan al-Qur’ān dari masa Rasul SAW yang masih berserakan dikumpulkan oleh Zaid ibn Tsabit atas instruksi Khalifah Abu Bakar Shiddiq. Kumpulan catatan tersebut dinamakan Mushaf. Setelah wafatnya Abu Bakar, maka mushaf tsb disimpan oleh Umar. Ketika Umar meninggal, maka mushaf tsb disimpan oleh Hafshah binti ‘Umar bin Khaththab.
Di samping itu, banyak sahabat yang mencatat ayat-ayat al-Qur’ān sejak masa Nabi, bahkan mereka mengumpulkannya dan menjadikannya sebagai mushaf. Catatan-catatan tersebut mereka simpan untuk mereka masing-masing, atau untuk mereka gunakan dalam pengajaran agama Islam. Mushaf-mushaf yang terkenal a.l. mushaf Ali bin Abi Thalib, mushaf Ubay bin Ka’ab, mushaf Abdullah ibn Mas’ud, mushaf Zaid ibn Tsabit, dll.
Masing-masing versi mushaf memiliki perbedaan, banyak atau sedikit, sebagai berikut:

1. Mushaf Ali bin Abi Thalib
Mushaf Ali bin Abi Thalib memiliki ciri khusus yang tidak dimiliki oleh mushaf lainnya. Karakter khusus mushaf ini adalah:
a. Ayat dan surat tersusun rapi sesuai dengan urutan turunnya, maka ayat-ayat makkiyah diletakkan sebelum ayat-ayat madaniyah, ayat-ayat yang turun masa awal diletakkan lebih dahulu dari pada ayat-ayat yang turun belakangan.
b. Bacaan yang tercantum dalam mushaf ini lebih mendekati keaslian sehingga lebih sesuai dengan bacaan Rasul;
c. Ada catatan tanzil dan takwil di tepi mushaf yang menjelaskan situasi dan kondisi serta latar belakang ayat-ayat al-Qur’an diturunkan. Penjelasan ini sangat berguna dalam menggali maksud ayat-ayat al-Qur’an diturunkan serta menyingkap makna-makna ayat yang masih samar.
Dari mushaf Ali ini sebenarnya banyak manfaat yang dapat digali, antara lain dapat diketahui perjalanan tasyri’ hukum, proses gradualisasi dakwah, dan pentahapan ajaran Islam, demikian pula proses nasikh dan mansukh dalam al-Qur’an. Seandainya mushaf Ali ibn Abi Thalib ini masih ada saat ini tentu akan banyak problem dalam memahami al-Qur’an akan teratasi.[4]

2. Mushaf Ibn Mas’ud
Mushaf Ibn Mas’ud memiliki ciri yang juga berbeda dari mushaf lainnya, yaitu:
a. Hanya memuat 111 surat dan minus surat al-Fatihah dan al-Mu’awwizatain (surat al-Falaq dan an-Nas).
b. Kata-kata dalam ayatnya banyak berbeda dengan kebanyakan catatan sahabat lain, karena menurutnya kata-kata al-Qur’ān boleh diganti dengan sinonimnya, baik untuk lebih menjelaskan maknanya, atau agar mudah dibaca orang suku tertentu.
c. Sebagian kata dalam ayat diganti dengan kata lain dengan maksud agar lebih jelas. Misalnya kata shauman (puasa) dalam surat Maryam ayat 26 diganti shamtan (diam), karena meksud ayat tersebut adalah nazar berpuasa untuk diam tidak berkata-kata.[5]

3. Mushaf Ubay ibn Ka’ab:
a. Urutan surat berbeda dengan urutas mushaf Utsmani.
b. Jumlah surat lebih banyak, dengan tambahan surat al-Khal’u dan al-Hafdu yang keduanya memuat doa qunut, karena menurut Ubay kedua doa tsb termasuk yang diwahyukan.
     Doa Khal’u sbb:

اللهم انا نستعين بك ونستغفرك و نثني عليك الخير ولا نكفرك ونخلع

                                  Doa Khafdhu sbb:

بسم االله الرحمن الرحيم اللهم اياك نعبد ولك نصلي ونسجد واليك نسعى ونخفض 

c. Surat al-Fiil dan al-Quraisy disatukan karena dianggap satu surat dan tidak dimulai dengan Basmalah.[6]
d. Surat az-Zumar diawali dengan “Hamim”, sehingga dalam al-Qur’ān terdapat 8 surat yang dimulai dengan “Hamim”.
e. Dalam mushaf Ubay ini banyak terdapat bacaan yang berbeda dengan bacaan masyhur, seperti beberapa kata dalam ayat-ayat tertentu diganti dengan kata-kata lain yang dianggap sinonim dan maknanya tetap sama.[7]

Misalnya Q.S. Yaasin ayat 52:

(#qä9$s% $uZn=÷ƒuq»tƒ .`tB $uZsVyèt/ `ÏB 2$tRÏs%ö¨B 3

Dalam Mushaf Ubay tertulis:

(#qä9$s% $uZn=÷ƒuq»tƒ .`tB  هبانا  `ÏB 2$tRÏs%ö¨B 3
         
Demikian pula pada Q.S. al-Baqarah ayat 20:

ߊ%s3tƒ ä-÷Žy9ø9$# ß#sÜøƒs öNèdt»|Áö/r& ( !$yJ¯=ä. uä!$|Êr& Nßgs9  (#öqt±¨B ÏmŠÏù

Dalam Mushaf Ubay tertulis:

ߊ%s3tƒ ä-÷Žy9ø9$# ß#sÜøƒs öNèdt»|Áö/r& ( !$yJ¯=ä. uä!$|Êr&  Nßgs9 مروا ÏmŠÏù
Kadang-kadang dalam mushaf Ubay terdapat kalimat tambahan yang tidak ditemukan dalam mushaf lain, misalnya Q.S. al-Baqarah 196:

(#qJÏ?r&ur ¢kptø:$# not÷Kãèø9$#ur ¬! 4 ...4 `yJsù öN©9 ôÅgs ãP$uÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$­ƒr& Îû Ædkptø:$#
         
Dalam Mushaf Ubay ibn Ka’ab tertulis:
ãP$uÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$­ƒr& متتابعينÎû  Ædkptø:$#

Masih banyak mushaf lain yang krang terkenal, yang juga berbeda jika dibandingkan dengan mushaf Utsmani a.l. mushaf ‘Aisyah dan mushaf Anas ibn Malik.[8]
Bentuk-bentuk perbedaan di antara mushaf sahabat berupa sistem penulisan, susunan/urutan, bacaan, jumlah surat dan ayat, serta tambahan atau pengurangan tertentu.
Demikianlah para sahabat memiliki mushaf masing-masing. Sahabat yang tidak memiliki catatan akan meminta bantuan agar dibuatkan sebuah naskah mushaf sesuai dengan yang diinginkan. Wilayah Islam yang semakin luas menyebabkan semakin banyak jumlah dan macam-macam mushaf. Apalagi kebutuhan umat Islam terhadap al-Qur’ān semakin meningkat. Perbedaan antar mushaf di atas disebabkan banyak faktor. Di samping memang banyak yang tidak memiliki hubungan kegiatan dan kerjasama dalam penulisan, sebab lainnya adalah karena perbedaan kemampuan dalam kegiatan penulisan, sehingga menyebabkan perbedaan dalam sistem, bacaan, susunan, dll.
Walaupun demikian, masing-masing mushaf di atas mendapatkan penghormatan tinggi di dunia Islam saat itu, sesuai dengan domisili sahabat yang menulis mushaf atau umat Islam yang mempelajarinya. Mushaf Abdullah ibn Mas’ud, misalnya, menjadi rujukan penduduk Kufah.[9]  Contoh lain adalah mushaf Ubay ibn Ka’ab yang banyak dipelajari dan dirujuk oleh penduduk Madinah. Demikian pula mushaf Abu Musa al-Asy’ari di Basrah dan Mushaf Miqdad ibn al-Aswad di Damaskus.

            C. Penyeragaman dan standarisasi Mushaf al-Qur’an
Dalam perkembangannya pada masa belakangan, jauh setelah era Nabi dan sahabat besar, perbedaan mushaf di atas menyebabkan sering terjadi perselisihan di kalangan masyarakat muslim yang fanatis terhadap mushaf dengan berbagai bacaan atau urutan surat yang ada di dalamnya. Tidak jarang satu sama lain sering saling menyalahkan, dan mengklaim bacaan al-Qur’ān versi mereka sebagai bacaan paling benar. Bahkan terjadi umat Islam yang salat berkelompok-kelompok  dalam satu masjid, sesuai dengan bacaan mushaf masing-masing. Situasi demikian berpotensi terjadinya perpecahan di antara umat Islam.
Catatan penting memperlihatkan perselisihan bahkan konflik banyak terjadi di kalangan orang-orang yang tidak tahu dengan sejarah masa Nabi dan sahabat. Padahal pada masa awal itu, pembacaan al-Qur’ān dan penulisannya sangat fleksibel dan moderat. Namun bagi orang belakangan yg tidak menyadari kelonggaran pada masa awal Islam dan kurangnya pengetahuan justru menganggapnya masalah dan perpecahan. Kondisi perbedaan demikian, terutama terjadi di daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan di Madinah atau di Makkah, atau di kalangan umat Islam yang banyak masih baru memeluk Islam atau jarang bertemu dengan banyak sahabat Nabi yang lain. Misalnya dalam peperangan di Armenia, umat Islam bertengkar karena dalam salat ada yang membaca “Wa atimmul hajja wal ‘umrata lillah” dan ada yang membaca “Wa atimmul hajja wal ‘umrata lil bait”.
Situasi demikan, mendorong Huzaifah al-Yamani mengusulkan kepada Khalifah Utsman ibn ‘Affan agar menyatukan semua mushaf yang ada dan membaca mushaf tersebut hanya dengan satu macam bacaan. Dalam suatu riwayat dinyatakan bahwa para sahabat setuju dengan gagasan itu kecuali Ibn Mas’ud yang menolaknya.[10]
Komite penyeragaman mushaf lalu dibentuk oleh Utsman di bawah pimpinan Zaid ibn Tsabit, seorang yang dianggap paling bagus tulisannya dan tergolong muda saat itu. Sedangkan Ibn Mas’ud yang merasa lebih banyak mengetahui tentang seluk beluk al-Qur’ān jelas tidak setuju dengan penyeragaman, apalagi ketika ibn Tsabit yang ditunjuk sebagai ketua komite. Ibn Mas’ud menilai penyeragaman hanya akan mematikan keleluasaan dan kemudahan umat dalam membaca dan memahami al-Qur’an yang telah dibolehkan oleh Nabi SAW sejak masa awal. Namun karena keputusan akhir dan kekuasaan ada di tangah Khalifah Utsman, maka upaya penyeragaman mushaf al-Qur’an terus dijalankan. Untuk mempermudah dan memperketat hasil, maka kegiatan tersebut dibimbing oleh Ubay ibn Ka’ab, Malik ibn Abi ‘Amir, Anas ibn Malik, dll.[11]
            Penyatuan mushaf ini mulai terjadi pada tahun 25 H, pada tahun ke 2 atau ke 3 dari kekhilafahan Utsman.[12] Hasilnya adalah tersusunnya mushaf standar yang menjadi acuan satu-satunya bagi seluruh umat Islam. Mushaf standar ini dinamakan Mushaf Utsmani atau Mushaf al-Imam. Semua mushaf lainnya yang berbeda dari mushaf standar ini harus dimusnahkan dengan cara dibakar
Ciri-ciri mushaf Utsman adalah:
1. Susunannya seperti yang banyak beredar saat ini, hanya ada perbedaan sedikit dengan beberapa mushaf sahabat dalam susunan atau urutan surat. Misalnya jika mushaf sahabat lainnya meletakkan Surat Yunus masuk dalam tujuh surat besar dan di urutuan ke-7, maka mushaf Utsmani menggolongkannya ke dalam kelompok Ma’in. Ini menunjukkan bahwa susunan al-Qur’ān yang ada saat ini adalah hasil ijtihad sahabat, dan bukan tauqifi dari Allah SWT atau Nabi SAW.[13]
2. Tanda baca seperti titik dan harakat tidak ada, sehingga masih sulit membedakan huruf dan tata bahasa (i’rab dan wazan kalimat). Beberapa contoh kesalahfahaman dalam bacaan kalimat misalnya:
-       Sulit dibedakan “yablu, nablu, tablu, tatlu, yatlu, natlu
-       Sulit membedakan “ya’lamuhu, ta’lamuhu, na’lamuhu, bi’ilmihi’, dll.
-       Maka ayat “litakuuna liman khalfaka ayatan” sering dibaca “litakuuna  liman khalaqaka ayatan”.
-       Nunsyizuha, Nunsyiruha, Tunsyiruha”. (Al-Baqarah: 259)
-       “Yuallimuhu, nu’allimuhu, ya’lamuhu, na’lamuhu”( S. Ali ‘Imran: 48)
-       Nunajjika” atau :Nunahhika” (Yunus 92).
-       Lanubawwiannahum” atau “lanubawwiyannahum”.

3. Tata tulisan tidak konsisten sebagai akibat kesalahan dalam imla’ dan penulisananya, misalnya :

-      الكتاب   kadang ditulis dengan الكتب  
-      الرحمان  banyak ditulis dengan dengan الرحمن  
الصلو ة – الزكوة  ditulis menjadi الصلاة – الزكاة-
-       اختلاف اليل و النهار  menjadiاختلف اليل و النهار 
-       Ada penulisan “basthah” dengan huruf sin, ada pula penulisannya dengan huruf shad menjadi “Bashthah”, demikian pula pada kata “Yabsuthu” ditulis dengan “Yabshuthu”, dll

Menurut Subhi Salih, “Berbagai keganjilan penulisan di atas bukan perintah dari Nabi atau hal yang bersifat Tauqifi. Hal itu juga tidak sama dengan huruf-huruf Muqatha’ah di awal surat yang memang mengandung misteri dan mutawatir. Semua kesalahan itu memang dilakukan oleh tim penulis yang dibentuk Utsman, baik atas peresetujuannya dan sepengetahuannya atau tidak”.[14]

            D. Respon Nabi SAW Terhadap Perbedaan Bacaan al-Qur’an.
Pembacaan al-Qur’ān pada masa Nabi saw ternyata sangat dinamis, ada toleransi keragaman dan perbedaan dalam huruf, bunyi, ucapan, kata bahkan juga tulisan, sepanjang tidak mengubah maksud dan tujuan ayat itu sendiri.
            Maka perbedaan dalam pembacaan dan pencatatan al-Qur’ān yang menimbulkan keragaman mushaf memang ada dan terjadi di kalangan sahabat. Data bukti tersebut ditemukan dalam banyak dokumen otentik, baik dari hadis maupun kutipan para ulama dalam berbagai kitab tafsir dan ulum al-Qur’ān.
Hadis riwayat Imam Muslim berikut ini menjelaskan keragaman bacaan di kalangan sahabat dan sikap toleran Nabi dalam meresponnya:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ قَالَ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُولُا سَمِعْتُ هِشَامَ بْنَ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ يَقْرَأُ سُورَةَ الْفُرْقَانِ عَلَى غَيْرِ مَا أَقْرَؤُهَا وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْرَأَنِيهَا فَكِدْتُ أَنْ أَعْجَلَ عَلَيْهِ ثُمَّ أَمْهَلْتُهُ حَتَّى انْصَرَفَ ثُمَّ لَبَّبْتُهُ بِرِدَائِهِ فَجِئْتُ بِهِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي سَمِعْتُ هَذَا يَقْرَأُ سُورَةَ الْفُرْقَانِ عَلَى غَيْرِ مَا أَقْرَأْتَنِيهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسِلْهُ اقْرَأْ فَقَرَأَ الْقِرَاءَةَ الَّتِي سَمِعْتُهُ يَقْرَأُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَكَذَا أُنْزِلَتْ ثُمَّ قَالَ لِي اقْرَأْ فَقَرَأْتُ فَقَالَ هَكَذَا أُنْزِلَتْ إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ [15]
                       
Hadis di atas secara tegas menunjukkan kebolehan berbeda dalam membaca al-Qur’an berdasarkan pernyataan Nabi yang berbunyi “ ... sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan dengan tujuh macam huruf (tujuh macam bahasa Arab) maka bacalah dengan cara yang mudah“.
Hadis-hadis semakna dan searah dengan hadis di atas hampir bernilai mutawatir karena sangat banyak jumlahnya. Berbagai hadis tersebut secara jelas membolehkan pembacaan al-Qur’an dengan berbagai bahasa Arab yang ada saat itu, baik Arab Quraisy atau lainnya.

Para ulama memberikan makna “tujuh huruf” dengan makna beragam, yaitu makna:
1.    Bacaan (Qiraat) seperti pendapat Ibn al-Jazari, misalnya dalam ungkapannya “Penduduk Syam ketika membaca al-Qur’ān, membacanya dengan bacaan (biharfi) Ibn ‘Amir”.[16] Menurut Khalil ibn Ahmad, pendapat yang mengartikannya sebagai qiraat atau cara bacaan adalah lemah.[17]
2.    Makna atau arah (al-makna wal jihat) seperti pendapat Muhamaad ibn Sa’dan an-Nahawi (w. 231 H).[18]
3.    Tujuh macam ilmu, terutama tauhid dengan berbagai cabangnya.
4.    Tujuh macam pemaknaan al-Qur’ān, yaitu muthlaq - muqayyad, ‘amm - khas, nasikh – mansukh, mujmal – mufassar, dll.[19]
5.    Banyak (Tujuh) makna yang sama (sinonim) pada kata-kata yang berbeda-beda. Misalnya kata “marilah” dalam bahasa Arab dapat berupa “aqbil”, “halumma” atau “ta’aal). Kata “asri’” atau ‘ajjil bermakna cepat. Demikian pula kata “Akhkhir, anzhir, atau amhil berarti tundalah. Pendapat ini sama dengan kebolehan periwayatan hadis secara makna sepanjang tidak merubah yang halal menjadi haram atau sebaliknya. Inilah pendapat Ibn Mas’ud dalam menulis mushafnya. Contohnya adalah pembacaan ayat sbb:

bqä3s?ur ãA$t6Éfø9$# Ç`ôgÏèø9$$Ÿ2 Â\qàÿZyJø9$#
Diganti dengan
 bqä3s?ur ãA$t6Éfø9$# Çكالصوف  Â\qàÿZyJø9$#      

6.    Dialek (Lahjah) bahasa Arab, yaitu dialek Quraisy, Huzail, Tamim, Azd, Rabi’ah, Hawazin, dan Sa’d ibn Bakar.[20] Jadi lafaz al-Qur’ān tetap satu, namun cara membacanya dapat berbeda-beda sesuai dengan tingkat kemudahan dan kesulitas. Inilah pendapat jumhur dan dianggap paling kuat. Pendapat ini merujuk kepada perintah Utsman yang memerintahkan agar menulis mushaf dengan lahjah Quraisy jika terjadi perbedaan. Misalnya kata Ikhsi’uu (rendahkanlah) dalam bahasa Arab umum dapat diganti dengan ukhzuu dalam dialek kabilah Azrah, Kata Laa taghluu  (Jangan melapauai batas) sama dengan laa tuziiduu dalam dialek bani Lakhm, atau kata Khaluu’an  (cemas) sama dengan dhajiiran dalam dialek. [21]

Makna angka “tujuh” dalam hadis di atas masih diperdebatkan ulama tentang maksud dan batasnya. Sebagian ulama mengatakan tujuh huruf tsb bermakna batas maksimal sehingga tidak boleh lebih atau tidak bermakna lebih dari tujuh macam. Sebagian menyatakan angka tujuh tersebut sebagai batasan yang berarti al-Qur’ān hanya boleh dibaca dengan tujuh macam bacaan). Pembatasan ini merupakan pendapat jumhur. Sedangkan sebagian ulama lainnya memaknainya sebagai makna banyak, sehingga al-Qur’ān boleh dibaca dengan berbagai dialek Arab yang ada, tidak hanya tujuh dialek atau baacaan tetapi boleh lebih dari itu.


III. ASUMSI TENTANG SEBAB-SEBAB PERBEDAAN MUSHAF
            Persoalan mengapa terjadi perbedaan dalam bacaan dan penulisan al-Qur’an (perbedaan mushaf) telah mendapat perhatian dan dijawab oleh kalangan ilmuwan muslim dengan berbagai pendekatan.
A. Pendekatan tradisionalis melihat perbedaan dalam bacaan dan tulisan al-Qur’an sebagai ketentuan dari Nabi atau bahkan langsung dari Allah SWT. Dalam pendekatan ta’abbudiy ini ada anggapan kuat bahwa berbagai tulisan al-Qur’an yang menyimpang dari kaidah standar bahasa Arab memang berasal dari Nabi, sebagaimana peletakkan urutan serta nama ayat dan surat juga berasal dari Beliau. Perspektif tradisionalis ini memang lebih banyak mengangkat aspek realitas namun cenderung tidak kritis karena kurang menggali latar belakang perbedaan dalam penulisan atau pembacaan al-Qur’an. Kelemahan lain dari pendekatan ini adalah kurang mengungkap nilai-nilai positif dan pemanfaatan perbedaan untuk menggali kekayaan dan kedalaman pemikiran Islam ke depan.  Kata shalat dan zakat dalam mushaf Utsmani misalnya ditulis dengan huruf waw, padahal kaidah standar menggunakan huruf alif. Namun ada yang meyakini penyimpangan seperti ini memang berasal dari Nabi SAW sehingga harus diikuti apa adanya. Bagi kalangan ini, dispensasi kebolehan berbeda dalam bacaan dan penulisan al-Qur’an hanya bersifat darurat, untuk sementara pada situasi saat itu saja, dan tidak berlaku lagi untuk masa dan orang-orang sesudahnya. Asumsi seperti ini ternyata banyak dipertahankan oleh banyak ulama tafsir atau penulis kitab-kitab ‘ulum al-Qur’an. Pendekatan dan pola pikir seperti ini tentu cenderung bersifat taqlid sehingga kurang mengembangkan inovasi dan kreatifitas umat  Islam. Pandangan tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Said Sukamta yang menyatakan bahwa kebolehan berbeda dalam bacaan atau tulisan al-Qur’an pada masa Nabi memang ada namun kebolehan itu bersifat terbatas dan darurat. Untuk saat ini tidak boleh ada perbedaasn lagi.[22]
B. Pendekatan Kritis memandang perbedaan dan penyimpangan dalam bacaan atau penulisan al-Qur’an bukan sebagai hal yang alami, tetapi justru mencurigai memang ada unsur-unsur kesalahan di dalamnya. Kesalahan ini sangat mungkin dilakukan oleh tim penulis mushaf bentukan khalifah Utsman yang diketuai oleh Zaid ibn Tsabit atau juga dilakukan oleh individu sahabat tertentu ketika menulis mushaf untuk pribadinya. Kesalahan ini misalnya penulisan kata shalat dan zakat dengan huruf waw. Sedangkan hadis “Sesungguhnya al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf ...” dianggap sebagai hasil rekayasa untuk pembenaran terhadap kekeliruan yang terjadi. Pandangan dan sikap kritis seperti ini dikemukakan antara lain oleh beberapa intelektual dari Jaringan Islam Liberal atau JIL.[23]
C. Pendekatan Fenomenologis melihat adanya perbedaan dalam bacaan atau penulisan al-Qur’an memang terjadi sejak zaman Nabi. Perbedaan tersebut ternyata memang dibolehkan secara langsung oleh Nabi Muhammad SAW. Toleransi tersebut diberikan oleh Beliau dengan mempertimbangkan adanya perbedaan di kalangan umat Islam dalam hal pengetahuan, kemampuan atau bahasa dan perbedaan dialek bahasa Arab di kalangan sahabat itu sendiri. Bagi kalangan fenomenologis ini, kebolehan untuk berbeda dalam membaca al-Qur’an ini menunjukkan tingginya toleransi Nabi dalam menghadapi perbedaan di kalangan umat Islam. Perbedaan dalam hal yang sensitif saja, seperti bacaan dan tulisan al-Qur’an, oleh Beliau masih diberi kelonggaran, apalagi perbedaan dalam persoalan kecil lainnya yang tentu lebih dibolehkan. Pendekatan fenomenologis ini lebih tepat untuk menciptakan hubungan serasi dan harmonis di tengah berbagai perbedaan. Hal lebih penting lainnya adalah kemampuan pandangan fenomenologis ini dalam menciptakan kebebasan dan mendorong umat Islam untuk tetap kreatif dan inovatif dalam membangun peradaban, sebagaimana dicontohkan oleh keragaman banyak sahabat dalam menulis mushaf, dan sikap Nabi SAW yang tetap mengakomodir berbagai perbedaan tersebut.


IV. PENGARUH TERHADAP DINAMIKA PEMIKIRAN ISLAM
            Dua macam sikap sahabat dalam menanggapi perbedaan bacaan dan penulisan al-Qur’an ternyata dalam jangka panjang menunjukkan atau bahkan melahirkan dua macam pola pemikiran, yaitu:
A. Pola pemahaman tekstual
Pola ini yang menganggap bacaan dan tulisan al-Qur’an harus seperti yang dibaca Nabi, atau harus sesuai dengan bahasa Arab Quraisy yang menjadi acuan mushaf Utsmani. Bacaan dan tulisan al-Qur’an harus ta’abbudiy, tidak boleh berbeda dari contoh yang ditulis dalam mushaf standar. Perbedaan dari ketentuan itu dianggap sebagai penyimpangan yang menyesatkan dan harus diberantas. Sikap seperti ini melahirkan pemikiran umat Islam yang sangat ketat dan kaku berpegang kepada teks (sumber tertulis) sebagai satu-satunya sumber ilmu pengetahuan dan cara untuk memperoleh kebenaran. Dalam sejarah hukum Islam, pemahaman seperti ini dikembangkan oleh aliran Ahl al-Hadis di wilayah Hijaz dengan imam Malik, al-Syafi’i, dan ulama ilmu riwayah lainnya sebagai tokohnya. Pola seperti inilah yang didengungkan oleh ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan yang populer di kalangan umat Islam.
B. Pola pemahaman rasional – kontekstual
Pola ini memandang pembacaan dan penulisan ayat-ayat al-Qur’an tidak harus persis sama seperti yang tertulis dalam mushaf Utsmani. Dengan kata lain, pemahaman seperti ini membolehkan pembacaan al-Qur’an dengan bacaan lafaz dan dialek atau tulisan Arab yang berbeda dari mushaf Utsmani dengan syarat makna atau maksudnya tetap sama. Kebolehan ini memiliki dasar pijakan sebagaimana boleh meriwayatkan hadis Nabi secara makna (al-riwayah bil makna). Kebolehan pembacaan seperti ini tetap memiliki dasar rujukan karena masih mengacu kepada kebebasan yang pernah terjadi pada zaman Nabi dan era sahabat. Pola pemahaman rasional ini dalam sejarahnya berpusat di Iraq, yang dasar-dasarnya dibawa oleh sahabat Nabi bernama Ibn Mas’ud (Abdullah bin Mas’ud). Dari murid atau pengikut beliau inilah kemudian lahir ulama-ulama rasional dari kalangan tabi’in yang terkenal sebagai ulama Ahl al-Ra’yi. Perjalanan panjang sejarah Islam memperlihatkan wilayah Iraq, dengan pusat-pusat kota seperti Baghdad, Kufah dan Basrah, menjadi tempat subur lahirnya peradaban Islam dengan tokoh-tokoh intelektual muslim ternama masa itu, baik dalam bidang fiqh, kalam, filsafat, tasawuf, sains, dan sebagainya.


V. PENUTUP
            Keleluasaan dalam membaca al-Qur’an pada masa Nabi SAW merupakan bukti nyata bahwa Islam membangun prinsip kebebasan sejak masa awal kepada umatnya. Berbagai aliran pemikiran umat Islam saat ini berawal dari perbedaan epistemologi pemikiran Islam masa klasik. Kejayaan peradaban Islam masa lalu muncul dari adanya semangat kreatifitas dan inovasi serta didukung oleh lingkungan yang memberikan kebebasan dalam berpikir, berekspressi dan berpendapat, sebagaimana yang pernah terjadi pada zaman Nabi dan era sahabat. Dengan demikian pemikiran Islam akan selalu mengalami pembaruan dan rekonstruksi. Semua tingkat kemajuan itu tidak lepas dari pengaruh pola pemikiran atau pemahaman Islam yang logis, rasional dan kontekstual. Ketika nalar sehat dan pola berpikir logis dan kritis dibungkam, maka kemunduran bahkan keruntuhan pemikiran dan peradaban Islam tidak dapat dihindari.


DAFTAR PUSTAKA


Abdul Moqsith Ghazali, dkk, Metodology Studi al-Qur’an (Jakarta: PT  Gramedia, 2009)

Ali Sidiqun, Antropologi al-Qur’an (Yogyakarta: penerbit ar-Ruuz, 2008)

Al-Thabari, Tafsir Jami’ Bayan al-‘Ilmi (Kairo: Mustafa al-Babi wa al-Halabi, 1975) juz  XXVII

Al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an (Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1978) juz I

Ibn Sa’ad, Thabaqat Ibn Sa’ad, (Damaskus: Dar al-Ilmi li al-malayin, 1978) juz II

Ibn Katsir al-Dimasyqi, Tafsir Ibn Katsir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990) juz I,

Ibn Qutaibah, Ta’wil Musykil al-Qur’an, (Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1968)

Muhammad Syahrur, al-Kitab wal Qur’an; Qiraah Mu’ashirah (Damaskus: penerbit al-Ahali, 1991)

Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi, Sahih Muslim (Surabaya: Maktabah Sa’adah, 1980) juz I dan II

Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, (Bandung: pt Almaarif, tt) juz VI

Muhammad Hadi Makrifat, The History of Qur’an, terjemahan (Jakarta: penerbit Pustaka, 2007)

Subhi Salih, Mabahis Fiy ‘Ulum al-Qur’an (Beirut; Dar al-Fikr, 1975)

Sukamto Said, Inzal al-Qur’an ‘ala Sab’ah Ahruf wa Mafhumuh min al-Manzhur al-Ijtima’i wal Lughawi, artikel dalam jurnal Al-Jami’ah, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, edisi 2 tahun 2008. 

Ibn al-Jazari, Thabaqat al-Qurra’ (Beirut: Dar al-Fikr, tt) juz I

Quraish Shihab, dkk, Sejarah dan ‘Ulumul Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus 2001)

Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyaf  (Bairut: dar al-Fikr, 1985) juz V dan VII










ASUMSI:
-          Perbedaan penulisan al-Qur’an (Mushaf) menujukkan perbedaan pola pemikiran (epistemologi) di kalangan sahabat.
-          Perbedaan mushaf menyebabkan timbulnya perbedaan pemikiran Islam  atau sebaliknya perbedaan pemikiran menyebabkan perbedaan mushaf.
-          Keragaman pembacaan al-Qur’an pada masa Nabi dan keragaman penulisan mushaf masa Nabi dan sahabat merupakan bukti dan sebab perkembangan pemikiran Islam secara bebas dan dinamis.
-          Penyeragaman pembacaan al-Qur’an dan penulisan mushaf adalah bukti dan sebab kebekuan pemikiran Islam.
-          Karena penulisan al-Qur’an menjadi mushaf  disempurnakan manusia berarti mushaf al-Qur’an tidak lagi skral, sebab yang sakral hanya wahyu.
-          Apakah dibolehkannya perbedaan tsb karena darurat (seperti pendapat Sukamta) atau karena memang prinsipnya boleh ? Saya: memag asalnya boleh !!!.


[1]Muhammad Syahrur, al-Kitab wal Qur’an; Qiraah Mu’ashirah (Damaskus: penerbit al-Ahali, 1991) h. 375.
[2]Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi, Sahih Muslim (Surabaya: Maktabah Sa’adah, 1980) nomor  hadis 1354.
[3]Quraish Shihab, dkk, Sejarah dan ‘Ulumul Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus 2001) h. 37.
[4]Al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an (Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1978), juz I, h. 157, Ibn Sa’ad, Thabaqat Ibn Sa’ad, juz II, h. 101.
[5]Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, juz VI, h. 225, Ibn Katsir al-Dimasyqi, Tafsir Ibn Katsir, juz I, h. 261, al-Suyuthi, al-Itqan ..., juz I, h. 58, dan Ibn Qutaibah, Ta’wil Musykil al-Qur’an, h. 48-49.
[6]Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyaf  (Bairut: dar al-Fikr, 1985) juz I, h. 255, al-Suyuthi, al-Itqan, Opcit, juz I, h. 65.
[7]al-Suyuthi, al-Itqan ..., Ibid, juz I, h. 64
[8]Lihat: Muhammad Hadi Makrifat, Sejarah al-Qur’an (Jakarta: penerbit Pustaka, 2007)  h. 144 – 150.
[9]Zamakhsyari, Op Cit.
[10]Abu Dawud, Mashahif  Sajistan,  hal. 11 – 14, sebagaimana dikutip oleh Hadi Makrifat, Op Cit, hal. 155.
[11]Ibid.
[12]Al-Thabari, Tafsir Jami’ Bayan al-‘Ilmi (Kairo: Mustafa al-Babi wa al-Halabi, 1975) juz  XXVII, h. 104.
[13]Ibid, h. 173
[14]Subhi Salih, Mabahis Fiy ‘Ulum al-Qur’an (Beirut; Dar al-Fikr, 1975), h. 195.
[15]Sahih Muslim,  Op Cit. Lihat pula: Manna’ Khalil al-Qaththan, Mabahis fiy ‘Ulum al-Qur’an, h. 156-157, dan Muhammad Muhammad Abu Syuhbah, al-Madkhal li Dirasatil Qur’an,  h. 154.
[16]Ibn al-Jazari, Thabaqat al-Qurra’ (Beirut: Dar al-Fikr, tt) juz I, h. 292
[17]Al-Suyuthi, op cit, juz I, h. 78.
[18]Ibn al-Jazari, Op Cit, juz II, h. 143.
[19]Subhi Salih, Op Cit,  h. 105
[20]Lihat Ibn Sallaam, dalam al-Burhan, I: 217.
[21]Subhi Salih, Op Cit,  h. 109-112.
[22]Sukamto Said, Inzal al-Qur’an ‘ala Sab’ah Ahruf wa Mafhumuh min al-Manzhur al-Ijtima’i wal Lughawi, artikel dalam jurnal Al-Jami’ah, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, edisi 2 tahun 2008. 
[23]Lihat Abdul Moqsith Ghazali, dkk, Metodology Studi al-Qur’an (Jakarta: PT  Gramedia, 2009) h. 27.