TIDAK ADA TEMPAT BAGI KEKERASAN DALAM AGAMA
Dr. Alamsyah al-Banjari, MA
Ketua Jurusan Hukum Pidana dan Politik Islam
IAIN Raden Intan Bandar Lampung
Belakangan ini semakin marak aksi-aksi kekerasan atas nama umat atau agama oleh kelompok tertentu atas kelompok keagamaan lain yang dianggap sesat. Bak layaknya pemburu vampir dalam film-film horor, sekelompok orang ini menyusun strategi, mengorganisir massa, kemudian mendatangi tempat-tempat jemaah yang dianggap sesat untuk dibubarkan atau dihancurkan. Contoh anarkhis terbaru yang banyak dikecam oleh berbagai elemen bangsa adalah peristiwa penyerangan kantor dan kampus Ahamdiyah di Parung, Bogor, Jawa Barat (Lampost, Sabtu, 16/7/05). Sungguh ironis memang, di saat pemerintah dan bangsa ini bahu-bahu dalam menegakkan hukum, memberantas korupsi, judi dan narkoba, menegakkan hak-hak asasi manusia, demokrasi, dan pluralisme, justru sebagian kecil umat ini mempertontonkan prilaku brutal, tidak manusiawi, tidak berbudaya, dan anarkhis. Jika seseorang ingin menyampaikan sikapnya kepada orang lain yang berbeda, seharusnya dilakukan secara gentleman, lewat prosedur yang telah disepakati bersama, misalnya legislatif, aparat hukum, dan lainnya yang legal dan bermoral.
Dalam sistem negara RI saat ini, apapun alasannya tidak seorangpun boleh memaksakan agama atau fahamnya kepada orang lain. Bahkan seseorang yang mengaku tidak bertuhan sekalipun tidak boleh dihukum. Hanya ketika seseorang atau suatu kelompok/aliran melakukan perbuatan kejahatan yang membahayakan orang banyak, maka dapat ditindak sesuai aturan.
Hentikan Tradisi Brutal
Jika cara kekerasan tetap dibudayakan untuk menghabisi kelompok yang tidak disukai, dan tindakan itu selalu berhasil dengan pengusiran dan penghancuran, sementara pelaku brutal dibiarkan bebas, maka hal itu jadi preseden buruk yang berbahaya dan akan terus berulang. Jika hari ini Ahmadiyah yang dihancurkan, maka besok Syi’ah, lusa LDII, berikutnya JIL, dst. Jika saat ini kekerasan hanya dalam persoalan teologis, maka sangat mungkin berikutnya dalam persoalan fiqh. Akibatnya golongan minoritas tidak memiliki tempat hidup dan kebebasan lagi karena tekanan dan kebrutalan kelompok yang kuat. Golongan minoritas hanya menjadi korban tanpa mampu melawan, sedangkan kalangan yang kuat akan selalu menempuh cara yang sama dan menjadi pihak yang benar. Di sini terjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia dan penghancuran civil society. Persoalan tidak akan pernah selesai bahkan kebencian antar golongan semakin tajam dan dendam semakin mendalam. Memang ironis, karena standar kebebenaran dibuat sepihak oleh kelompok kuat, sementara pihak lain hanya obyek untuk dihukum. Di sini agama pada akhirnya bukan menjadi tempat perlindungan yang aman bagi umat manusia. Agama tidak berdaya dan tidak lagi menjadi tempat untuk mencari ketenangan, tetapi telah menjadi alat untuk meninabobokkan manusia, menjadi sumber kebencian dan permusuhan, serta alat legitimasi untuk mempertahankan otoritas kekuasaan, menekan pihak yang lemah. Apalagi ketika agama telah menjadi media untuk mencari keuntungan duniawi maka persoalannya semakin runyam, dan jelas ini harus dihentikan.
Jelas sudah bahwa tindak kekerasan dan brutal yang dipertotonkan oleh sebagian muslim atas manusia yang lain, baik sesama muslim maupun yang berbeda agamanya, bukan dari ajaran Islam dan bukan pula sebagai muslim yang terhormat. Apa yang dilakukan itu merupakan suatu tindakan yang memalukan untuk diperlihatkan oleh seorang muslim di tengah pusaran peradaban manusia moderen. Prilaku penghancuran dan penyerangan yang dibuat oleh sebagian muslim itu tidak lebih baik dari orang atau kelompok yang diserang, bahkan terlihat jauh lebih buruk dan hina.
Tindakan main hakim sendiri, anarkhis, atau kekerasan hanya karena berbeda faham agama, jelas adalah tindakan biadab yang hanya dilakukan oleh mereka yang juga tidak beradab, mereka yang putus asa, atau mereka yang kebingungan karena tidak menemukan cara lain yang lebih sehat, logis, dan cerdas dalam berhadapan dengan kelompok yang tidak disenangi. Kondisi yang demikian jelas sangat tidak sehat karena telah mengedepankan logika kekuatan dan bukan kekuatan logika dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Jika demikian hal yang terjadi, umat Islam jelas mundur ke belakang beberapa abad.
Sebagian sejarah kelam Eropa abad tengah jangan terulang . Saat itu banyak ilmuan atau kalangan yang berbeda faham dengan gereja lantas dianggap pelaku bid’ah, sesat, dan akhirnya dibakar dengan tuduhan sebagai tukang sihir, laboratoriumnya atau tempat pengajarannya juga dibakar. Hal inilah tampaknya yang sedang ditiru oleh sebagian kita di bumi Indonesia yang cinta dama ini.
Agamawan Harus Introspeksi Diri
Memang ada kelompok keagamaan tertentu yang harus dihentikan aktivitasnya namun dengan syarat jika mereka telah mengajarkan kejahatan seperti pembunuhan dan bukan karena perbedaan cara ibadah atau pendekatan diri kepada Tuhan. Jika dalam masyarakat muncul berbagai kelompok keagamaan yang baru, maka jangan serta merta disalahkan atau dituduh sesat secara sepihak. Seharusnya para agamawan merenung dan berpikir ulang mengapa muncul berbagai aliran dalam agama mereka ? mengapa umat yang mereka bimbing gelisah dan mencari-cari perlindungan/tempat gantungan baru ?. Jangan dulu berprasangka buruk hal itu akibat ulah para pengacau yang ingin mengacau agama mereka. Lebih baik introspeksi ke dalam agama masing-masing. Sangat mungkin hal demikian muncul sebagai akibat ketidakpuasan atas hidangan agama ada (baik doktrin, tafsirannya, penjabarannya, pendekatan pemahamannya, instrumen, ulama/tokohnya, dsb) sebab ada tafsiran agama yang mungkin tidak mampu memberikan dahaga batin bagi pemeluknya, atau mungkin tafsir-rafsir yang disampaikan berdampak diskriminatif bagi sebagian mereka, atau pendekatan yang digunakan dalam menyampaikan pesan-pesan agama, misalnya lebih mementingkan aturan lahiriah (legal, formal, hanya vonis) dan melupakan aspek batiniah, tidak menyentuh persoalan kemanusiaan yang paling mendasar, disajikan hanya untuk konsumsi makhluk langit dan tidak membumi, yang digunakan pendekatan doktriner sehingga tidak relevan lagi dengan kehidupan sehari-hari yang dijalani, dunia rasional dan kontekstual.
Jika memang demikian akar persoalannya, maka apakah tepat penyelesaiannya dengan penghancuran tempat-tempat ibadah saudara-saudara kita yang (dianggap) menyimpang itu ?. Layakkah kita menyalahkan dan menyesatkan mereka begitu saja ?. Benarkan sikap kita yang menghukum sebagai kejahatan atau menuntut hukuman pidana atas mereka ?. Jelas ini suatu tindakan sangat tidak bijak. Jika ini tetap dipaksakan, maka akan terbukti benar tudingan sebagian kalangan bahwa kaum agamawan kita telah mengalami ketakutan dan kecurigaan (paranoid), takut kehilangan wilayah kekuasaan (otoritas) atas umatnya (post sindrome), dan menjadikan agama sebagai obyek untuk meraih tujuan duniawi dengan kolaborasi bersama kaum politisi (umara’).
Sangat mungkin ada pihak lain dengan tujuan politis yang mengintervensi ke dalam umat beragama sehingga terjadi aksi-aksi kekerasan dan kekisruhan di dalam atau antar umat beragama. Sejak dimulainya Pilkada di berbagai daerah ternyata eskalasi penyerangan dan pembasmian terhadap kelompok minoritas keagamaan (muslim) semakin meningkat. Hubungan fenomena ini dengan berbagai faktor lainnya memang belum dikaji lebih jauh, namun sangat mungkin gerakan pembasmian ini merupakan strategi kalangan tertentu untuk menarik simpati banyak kalangan muslim dan dicap sebagai (calon) pemimpin yang religius. Jika politisasi agama seperti ini yang terjadi maka otak pelakunya sungguh biadab karena telah mengadu domba sesama dan antar umat beragama serta mengorbankan kaum yang lemah. Saya berharap bukan ini yang terjadi. Oleh karena itu masih banyak kesempatan ke depan untuk memperbaiki masyarakat bersama dan menghindari kemungkinan negatif tersebut.
Memang harus diakui bagi penganut tertentu agama yang dipeluknya merupakan yang paling benar serta relevan di setiap waktu dan tempat. Seorang muslim misalnya memang meyakini Islam sebagai agama yang paling bertauhid. Namun harus disadari pula setiap agama memiliki titik temu yang membawa prinsip universal perdamaian, keadilan, persaudaraan dan persamaan. Ketika berbagai prinsip dasar itu diimplementasikan ke dalam berbagai lapangan kehidupan maka dapat muncul beragam instrumen pelaksanaannya, tergantung ruang dan waktu, kondisi geografis, situasi lokal dan kultural.
Dengan demikian tidak mengherankan jika Nabi Muhammad SAW sangat menghormati orang yang berbeda agama serta memberi kebebasan kepada mereka untuk beribadah. Ibn al-Qayyim al-Jauziyah mengabadikan peristiwa indah di mana Nabi SAW pernah menyambut hangat utusan Nasrani dari Najran untuk berdialog dan bahkan kepada mereka dipersilahkan melakukan kebaktian dalam masjid Nabawi di Madinah saat itu (Zaad al-Ma’ad, II: 207). Dalam proses dakwahnya beliau memang tegas namun mengedepankan sikap santun, sopan, lembut, berbudaya, melindungi dan bukan kasar, brutal atau menanamkan kebencian. Inilah yang dipuji Allah SWT dan yang menjadi kunci sukses misi kenabiannya (Q.S. III: 57).
Oleh karena itu tidak mengherankan jika pada masa kejayaan peradaban dan pemikiran umat Islam abad ke 7 – 10 M lalu, telah lahir berbagai mazhab baik teologis, fiqh dan spiritual dengan aneka kecenderungannya. Semuanya bermuara pada upaya penjabaran nilai dasar Islam yang universal di atas. Dengan adanya dinamika dan ruang kebebasan dalam berijtihad maka lahir berbagai cabang ilmu pengetahuan keislaman, baik di bidang keagamaan maupun umum. Para ulama besar masa itu meyakini keilmuan Islam itu integral sehingga tidak ada dikhotomis anatara ilmu agama dan ilmu dunia. Dengan sikap terbuka ini mereka mau menerima perpaduan antara ilmu berbasis Arab-Islam dan yang berbasis non Arab-Islam, seperti fisika, kimia, kedokteran, filsafat, dsb. Hasilnya luar biasa dengan lahirnya aneka ilmu pengetahuan, penemuan, dan kemajuan peradaban. Kekayaan khazanah keilmuan Islam masa lalu ini masih dapat disaksikan dari berbagai kitab yang jumlahnya tidak terhitung jenis, judul, volume dan jumlahnya.
Dari dialog antar peradaban (Islam-Arab dan non Arab) maka lahir berbagai ilmu pengetahuan keagamaan yang bermacam-macam dan mendalam; tafsir, hadis, ilmu keduanya, fiqh, kalam, tasawuf, logika, bahasa, sastera, filsafat, dsb. Jadi ilmu keislaman tidak cukup al-Qur’an dan hadis atau terjemah keduanya.
Oleh karena itu semakin sempit wawasan keilmuan yang dibaca dan pendekatan yang dipakai hanya doktriner ala kaca mata kuda, semakin miskin literatur yang dibaca, ditambah lagi oleh sikap anti pati, menutup diri serta anti dialog dengan kalangan yang berbeda, maka dapat dipastikan semakin kasar dan gersang sikap beragama seseorang. Sebaliknya, semakin mendalam seorang muslim mempelajari berbagai disiplin ilmu-ilmu keagamaan, semakin luas literatur khazanah klasik warisan ulama salaf salih yang telah ditelaahnya, semakin beragam dimensi dan pendekatan keilmuan yang digunakan secara kritis, maka akan semakin luas wawasan keagamaan seseorang. Implikasinya, semakin terbuka, toleran, dan proporsional seseorang dalam beragama, namun tetap cerdas dan kritis. Mencetak para ilmuan seperti inilah sebenarnya misi penting yang dibawa oleh berbagai lembaga pendidikan tinggi Islam di Indonesia, seperti STAIN, IAIN, UIN, dsb, dan bukan untuk pemurtadan atau pengingkaran seperti yang dituduhkan dan difitnahkan secara keji oleh segelintir kalangan.
Jika pola pikir dan sikap keagamaan yang ditawarkan tetap tertutup, tidak bersahabat, kasar dan menganjurkan kekerasan, maka jangan diharap umat Islam akan menjadi kelompok terdepan, termaju serta terbaik.
Sikap keterbukaan, bijak dan toleransi inilah yang diperlihatkan oleh para ulama salaf salih masa lalu dalam melihat perbedaan. Maka imam al-Syafi’i, misalnya, mengatakan “pendapatku benar namun tetap mengandung kemungkinan salah, sedangkan pendapat selainku salah namun tetap mengandung kemungkinan benar”. Toleransi dalam menyikapi perbedaan tidak hanya dalam masalah duniawi tetapi juga dalam perbedaan mekanisme ibadah dan media bahasa yang digunakan di dalamnya. Sehingga ketika memilih dan menyebut pendapat yang diyakini lebih benar sekalipun, maka mereka tidak mengeralisirnya secara absolut melainkan dengan membatasi klaim kebenaran tersebut hanya sebatas mazhab atau lingkungan mereka saja. Hal seperti inilah yang sering dilakukan oleh imam al-Nawawi atau Ibn Rusyd al-Qurthubi dengan mengatakan “al-Mu’tamad ‘indana (pendapat yang kuat menurut kami) atau ál-sahih fi mazhabina (pendapat yang benar dalam mazhab kami) dalam berbagai karya mereka. Hal ini dilakukan bukan karena mereka ragu-ragu dalam mengambil keputusan, melainkan karena sadar bahwa pendapat manusia tetap nisbi/relatif dan yang hakiki hanya ada pada Allah SWT. Oleh karena itu tidak perlu kita sombong menyebut diri sebagai orang paling benar, lurus, bersih, selamat dan satu-satunya yang berhak masuk surga. Hanya Allah SWT yang Maha Mengetahui dan penuh kasih sayang.
Oleh karena itu, dalam dunia yang plural dan global, tidak ada umat manusia yang dapat menyelesaikan persoalan mereka sendirian. Maka perlu kerja sama yang erat, saling membuka diri, saling memahami perasaaan dan suara hati orang lain, saling introspeksi, bahkan dapat saling menerima dan memberi. Alangkah indahnya jika umat beragama saling memahami dan menjaga perasaan umat lain. Jadi adalah suatu kesombongan belaka jika ada yang mengklaim mereka paling benar, terhebat dan dapat mengatur dunia sendirian tanpa kerja sama atau bantuan pihak lain. Allah SWT sebagai Tuhan yang Maha segalanya saja tetap mengajarkan rendah hati dengan menggunakan pernyataan “Kami” dalam berbagai firman-Nya, yang menunjukkan keterlibatan pihak lain dalam berbagai penciptaan alam semesta dan segala isinya ini. Demikian pula seharusnya umat Tuhan itu sendiri, baik dia seorang muslim, Kristiani, Yahudi, dsb.
Saya yakin teori Samuel Huntington “Clash of Civilization” dapat dihindari dan tidak akan terjadi. Langkah awal yang mutlak harus dibangun untuk itu adalah toleransi. Dari sini dapat dilanjutkan menjadi dialog saling memahami dan menghormati. Pada akhirnya dapat dibangun kerja sama lintas etnis, budaya dan agama guna ber-jihad membendung dan membasmi musuh bersama seluruh umat beragama di dunia ini, yaitu kemiskinan, penindasan, eksploitasi, korupsi, narkoba, pornografi, judi, minuman keras, dan bukannya membasmi orang-orang yang ingin beragama atau beribadah secara tenang. Hanya dengan keterlibatan semua umat beragama maka dapat dilakukan amar ma’ruf dan nahi munkar yang sebenarnya ini sehingga akan terwujud dunia yang damai dan berkeadilan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar