“semua elemen masyarakat harus mencegah terciptanya lingkungan
yang memberi ruang bebas bagi faham radikal dan terorisme
untuk hidup dan berkembang subur”
Teror bom buku yang marak belakangan ini membuat masyarakat panik, resah dan takut. Teror tidak hanya dilakukan di tempat fasilitas umum seperti pasar, kantor, rumah sakit dan bandara, tetapi juga sudah merembet ke tempat ibadah dan rumah pribadi. Teror, tindak kekerasan dan ancaman pembunuhan seperti ini jelas tidak boleh dibiarkan karena pada akhirnya hanya mengorbankan banyak masyarakat tidak berdosa. Kita tentu tidak ingin Indonesia menjadi seperti Afghanistan, Pakistan, Irak, dll, yang terkoyak oleh perang saudara, setiap hari dihantui teror bom, kekerasan menjadi menu harian, elit-elit politik dan keagamaan disingkirkan dengan pembunuhan, nyawa manusia seolah tidak berharga, sehingga yang ada hanya rasa curiga dan kebencian antar orang atau kelompok.
Hal yang lebih meresahkan, teror belakangan ini tidak lagi melihat siapa yang akan menjadi korban. Jika sebelumnya target teror hanya ditujukan kepada fasilitas negara atau aset milik asing (Barat), maka teror sekarang ini ditujukan kepada individu atau fasilitas umum seperti rumah sakit, sekolah dan masjid, sehingga masyarakat menjadi ketakutan. Teror yang menyebabkan kekacauan dan kekerasan tidak boleh terus terjadi dan harus dihentikan, siapapun pelakunya baik kalangan radikal ideologis maupun pihak yang bermain di air keruh.
Tujuan dan Dampak
Tujuan teror memang untuk menimbulkan kekacauan dalam masyarakat sehingga terjadi keresahan dan kepanikan Namun hal itu bukan tujuan pokok karena ada tujuan yang lebih jauh. Pengiriman bom buku kepada Ulil Abshar Abdalla, misalnya, bukan hanya sebatas untuk mencelakai diri pribadinya atau menakuti orang-orang yang sejalan dengannya. Tujuan pokok dari teror bom ini adalah ideologis yaitu untuk menghancurkan sistem demokrasi yang mereka anggap sesat karena dianggap faham setan dari Barat yang bertentangan dengan Islam. Karena diyakini demikian, maka faham demokrasi dengan berbagai nilai di dalamnya, seperti pluralisme, kebebasan dan nasionalisme, tidak boleh hidup. Demikian pula kelompok atau orang-orang yang pro demokrasi dan menjadi simbol gerakan demokratisasi juga harus turut dihabisi.
Jika demokrasi berhasil dimatikan, maka kalangan radikal ini selanjutnya memaksakan dasar dan bentuk negara versi mereka yang diyakini paling benar, sesuai dengan ideologi, pemahaman dan doktrin yang mereka anut. Dalam sistem yang tidak demokratis ini hanya akan melahirkan pemerintahan otoriter, tidak toleran dan anti pluralisme. Lebih jauh dari itu, sistem diktator ini akan menyebabkan partisipasi masyarakat sangat minim, bahkan pasif, karena tidak ada lagi ruang kebebasan dalam berpikir, berpendapat dan berekspressi.
Dengan demikian, teror-teror bom belakangan ini jelas berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat dan sistem pemerintahan. Ketika teror terus terjadi, maka keresahan dan kepanikan masyarakat akan berdampak pada munculnya ketakutan masyarakat untuk melakukan berbagai aktifitas sehari-hari. Ketika ketakutan berlanjut, maka masyarakat menjadi trauma, dan pada akhirnya timbul saling curiga, saling menyalahkan dan muncul saling ketidakpercayaan.
Musuh Bersama
Terorisme adalah musuh bersama semua elemen bangsa ini. Jika teror dibiarkan terus tumbuh dan terjadi maka yang jadi korbannya tidak lain adalah masyarakat itu sendiri. Sebagai musuh bersama, maka upaya menghentikan teror tidak cukup hanya dilakukan aparat keamanan atau pemerintah, apalagi sampai saat ini aparat belum mampu menemukan pelaku utama bahkan kurir pengirim bom sekalipun. Seluruh lapisan masyarakat harus terlibat aktif turut serta menghentikan teror. Teror bom buku belakangan ini seharusnya menghentak kesadaran kita ternyata kelompok radikal masih tumbuh dalam masyarakat dan tidak pernah berhenti melakukan berbagai cara kekerasan dan ancaman untuk meraih tujuan. Ruang gerak kelompok teroris saat ini memang terbatas. Satu persatu sel-sel kelompok ini juga terputus atau telah dimatikan. Walaupun demikian, kejadian teror bom buku atau bungkusan belakangan ini semakin memperkuat sinyalemen bahwa kelompok teroris ada di tengah masyarakat kita bahkan ada yang melindungi. Jumlah teroris aktif memang hanya sedikit, tetapi kalangan simpatisan yang mendukung secara pasif atau menyetujui cukup banyak.
Oleh karena itu semua pihak harus mencegah terciptanya lingkungan yang memberi ruang bebas bagi faham radikal dan terorisme untuk hidup dan berkembang subur. Keterlibatan masyarakat ini dimulai dengan menanamkan sikap waspada dan tidak boleh lengah, baik dalam kehidupan keluarga maupun lingkungan masyarakat. Keberadaan orang asing atau orang baru di lingkungan masyarakat memang tidak harus dicurigai atau diawasi ketat tetapi harus diwaspadai dengan cara mengaktifkan sistem pelaporan kepada pimpinan masyarakat setempat.
Walaupun kasus teror bom ini banyak dimanfaatkan atau ditunggangi kelompok lain untuk mengalihkan issu, namun pelaku utama teror bom ini diduga kuat tetap sama, yakni kalangan radikal ideologis (keagamaan) seperti beberapa waktu lalu. Hal ini dapat dilihat dari cara dan tujuan paket bom yang memuat pesan yang sarat kebencian terhadap kelompok-kelompok tertentu yang pro demokrasi dan pluralisme, atau yang dianggap berbahaya karena faham keagamaannya dianggap liberal dan sesat.
Deradikalisasi
Oleh karena teror banyak dilakukan kalangan radikal maka langkah tepat mengatasinya adalah dengan melakukan gerakan pencegahan munculnya faham radikal (deradikalisasi). Karena terorisme adalah musuh bersama, maka semua kalangan harus terlibat aktif dalam gerakan pencegahan ini. Pelaku kekerasan selalu bertindak dengan alasan teologis yang mengatasnamakam doktrin-doktrin agama, seperti jihad, amar makruf nahi munkar, dan mati syahid. Maka para ulama turut bertanggung jawab untuk menyadarkan mereka dari pemahaman keagamaan yang salah ini, misalnya dengan mengeluarkan fatwa keagamaan yang mengharamkan tindakan teror dan anarkis serta mengisi masjid dengan kegiatan positif. Dengan demikian diharapkan mereka akan kembali kepada pemahaman yang benar dan menyadari bahwa mencelakai atau membunuh orang lain adalah tindakan salah dan bukan dari ajaran Islam.
Upaya-upaya penyebaran ideologi dan faham keagamaan yang toleran, damai dan menyejukkan harus dilakukan secara menyeluruh dan terus menerus. Masyarakat tidak boleh lupa bahwa Islam yang masuk ke Indonesia pada mulanya adalah bercorak damai, toleran dan menghargai kearifan lokal. Namun tiga puluh tahun belakangan ini mulai berkembang faham keras dan tidak toleran dari Timur Tengah. Kelompok radikal ini sering menonjolkan simbol-simbol agama yang normatif lahiriah dan suka menyerang atau menuduh sesat dan kafir kepada kelompok muslim lain yang berbeda, sehingga kerap menimbulkan keresahan, gesekan dan konflik di tataran masyarakat bawah. Pemahaman dan prilaku keagamaan demikian tentu tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dan masyarakat Indonesia yang beragam agama dan budaya.
Dalam sistem pendidikan di sekolah juga harus dikembangkan metode dan materi yang bersifat dialogis, demokratis, terbuka dan mau menerima perbedaan. Jika yang dikembangkan adalah pola pendidikan otoriter, monolitik, anti perbedaan dan doktriner maka akan menyuburkan tumbuhnya potensi dan ruang bagi faham radikal. Berbagai fakta di lapangan menunjukkan banyak lembaga rohani keagamaan (Islam) di sekolah-sekolah yang telah disusupi kelompok radikal. Jika generasi muda seperti ini sudah dicuci otak dan diformat dengan program terorisme maka bagaimana akan menjadi pemimpin masa depan. Di sinilah pengawasan aktif dari guru dan aparat sekolah menjadi sangat penting untuk mencegah masuknya faham kekerasan dalam pendidikan.
Cara pencegahan lebih efektif adalah melalui pendidikan dalam keluarga. Para orang tua harus membangun hubungan harmonis, terbuka dan dialogis dengan anak-anaknya. Kesalahpahaman antara orang tua dan anak harus diselesaikan dengan bijak, sehingga jangan sampai ada anak yang menghilang atau tidak mau mengakui orang tuanya lagi hanya karena perbedaan pemahaman atau pengamalan agama. Orang tua juga harus mampu menampilkan diri sebagai idola yang demokratis bagi mereka agar didengar, ditiru dan diteladani. Jika yang terjadi sebaliknya maka anak-anak akan mencari figur lain di luar rumah, dan di sinilah mulai terbuka peluang untuk terjebak dalam rayuan kelompok radikal ekstrim, sebagaimana banyak generasi muda yang terjebak dalam narkoba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar