Senin, 28 Maret 2011

PESAN PERDAMAIAN DARI PADANG `ARAFAH


PESAN PERDAMAIAN DARI
PADANG `ARAFAH

Alamsyah al-Banjari
Ketua Program Ilmu Syari’ah
Pascasarjana IAIN Raden Intan Lampung

Menyikapi situasi penegakkan hukum di tanah air yang sangat buruk saat ini, alangkah baiknya dibuka kembali lembaran khutbah Nabi Muhammad saw di tengah padang ‘Arafah empat belas abad yang lampau. Tepat pada tanggal 10 Zulhijjah 10 H (632 M), Beliau me­nyampaikan khutbah paling bersejarah dalam peristiwa Haji Wada' (haji perpisahan), haji pertama sekaligus terakhir. Ketika mendengar khutbah itu, para sahabat menangis karena merasakan Nabi yang sangat dicintai akan pergi menghadap Allah swt, dan memang tiga bulan setelah itu beliau pun wafat. Saat itu, dari atas ontanya yang tenang bernama Al-Qashwa', Beliau berkhutbah di hadapan sekitar 140.000 kaum muslimin dengan nada tinggi sambil berkali-kali menunjuk ke langit. Pokok sabda beliau yang dirangkum dari berbagai kitab hadis dan dokumen sejarah sbb:
“Wahai manusia, dengarkan nasihatku baik-baik, barangkali aku tidak akan bertemu lagi dengan kalian semua setelah tahun ini dan di tempat ini!” Sesungguhnya darah (nyawa), harta benda dan kehormatan kalian adalah haram (dihormati) sebagaimana terhormatnya hari ini, bulan ini, dan kota ini.  Mulai hari ini dihapuskan segala macam riba, dan riba pertama yang aku hapuskan adalah riba yang dilakukan oleh pamanku sendiri, Abbas bin Abdul Muthalib.  Pada hari ini pula dihapuskan semua bentuk balas dendam atas pembunuhan di masa jahiliah, dan yang pertama aku hapuskan adalah tuntutan darah atas al-Haris bin Abdul Muthalib. Sesungguhnya aku telah meninggalkan kepada kalian sesuatu yang jika kalian berpegang dengannya maka tidak akan sesat, yaitu Kitabullah (al-Qur'an). Oleh karena itu, bertaqwalah kepada Allah dan dengarkan serta taatilah pemimpin kalian, walaupun dia berasal dari budak jelek yang hitam sekalipun, selama ia mampu membimbing kepada ajaran Kitabullah”.
“Wahai manusia!, ketahuilah sesungguhnya Tuhan kamu adalah satu dan bapak kamu juga satu. Kalian semua dari Adam dan Adam dari tanah, maka tidak ada kelebihan orang Arab atas orang ‘Ajam (non Arab) dan tidak ada kelebihan orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, kecuali dengan taqwanya. Sesungguhnya muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, maka tidak boleh menzalimi, menghina dan mengacuhkannya”.
“Wahai manusia! hendaklah kalian berwasiat (berbuat kebaikan) kepada perempuan, karena mereka sering jadi sasaran keburukan di antara kamu, padahal kalian tidak berhak apapun atas mereka kecuali memperlakukan dengan baik. Sesungguhnya bagi kaum wanita (istri) itu ada hak-hak yang harus kamu penuhi, dan bagimu juga ada hak-hak yang harus mereka penuhi. Dari itu, bertaqwalah kepada Allah tentang urusan wanita dan terimalah wasiat ini untuk bergaul baik dengan mereka”.
Wasiat Nabi di atas sungguh luar biasa, karena membawa pesan perdamaian universal, persaudaraan, persamaan, toleransi dan keadilan. Umat Islam harus menjadikan wejangan pamungkas itu sebagai fondasi, arah dan prinsip dalam memahami dan mengamalkan seluruh ajaran Islam. Hanya dengan demikian Islam akan membawa rahmat, kedamaian dan kemajuan. Untuk itu, hal pertama beliau tegaskan adalah harus ditegakkannya keadilan hukum dan hak-hak asasi manusia, dalam semua sendi kehidupan; “nyawa, harta, kehormatan”, dan sebagainya. Semua itu dilakukan atas dasar keadilan, tanpa diskriminasi agama, suku, kelompok atau kepentingan keluarga. Keadilan yang ditegakkan tidak terhenti sebatas keadilan prosedural (hukum acara formal) karena dapat menyebabkan manipulasi hukum dan mengkhianati hati nurani. Hal terpenting adalah menegakkan keadilan substansial yang diidamkan oleh masyarakat, dibangun di atas fondasi fakta kejujuran, tanpa rekayasa dan kepura-puraan. Karena sangat vitalnya keadilan ini, maka adil menjadi syarat paling utama bagi seorang calon kepala negara. Dalam situasi khusus, syarat adil bahkan lebih diutamakan dari pada sekedar syarat beragama Islam. Oleh karena itu, Ibn Taymiya secara gamblang menyatakan “pemimpin yang non muslim (kafir) tetapi adil adalah lebih baik dari pada pemimpin yang muslim tetapi zalim”.
Maka Nabi Muhamad saw meneruskan misi perjuangan para nabi sebelumnya dalam membangun sistem ekonomi dan sosial yang adil, yang berpihak untuk memberdayakan kaum marjinal dan tertindas. Di sinilah kemudian beliau mendeklarasikan sistem ekonomi bebas riba, karena riba yang sudah berakar dalam masyarakat Arab saat itu telah menciptakan ketimpangan sosial dan kesenjangan ekonomi. Riba menjadikan  ketergantungan satu pihak kepada lainnya sehingga melahirkan eksploitasi oleh kelompok kuat atas kaum yang lemah.
Dengan misi keadilan ini, Rasulullah saw membongkar mainstream pemikiran bangsa Arab yang memandang rendah kaum perempuan dan menomorduakan bangsa ‘ajam (non Arab). Tradisi yang memperlakukan perempuan layaknya hewan atau barang dagangan, secara revolusioner didobrak menjadi tradisi yang memuliakan dan mensetarakannya dengan kaum laki-laki. Dengan itu pula beliau mengecam habis sikap ashabiyyah (fanatik) yang mengunggulkan etnis Arab dan sikap rasialis yang merendahkan warna kulit tertentu. Beliau membangun dan menanamkan prinsip kemuliaan seseorang bukan pada jenis kelamin, bangsa dan warna, tetapi pada prestasi dan konstribusi terbaik pada umat manusia. Maka jabatan diberikan bukan karena hubungan kekerabatan atau senioritas, tetapi atas dasar profesionalisme, kemampuan dan amanah.
Dalam doktrin keislaman (hukum perkawinan dan kewarisan misalnya), memang muncul kembali ketimpangan atas dasar jenis kelamin, etnis dan strata sosial, namun itu terjadi pasca wafatnya Rasulullah akibat menguatnya kembali budaya tribalisme Arab dan pengaruh budaya luar.
          Khutbah pamungkas di atas juga meneguhkan kembali Islam sebagai agama damai, yang menolak segala bentuk tindak kekerasan, melaknat perbuatan yang menyebabkan kekacauan dan ketakutan, mengharamkan pertumpahan darah, dan Islam tidak disebarkan dengan ekspansi kekuatan pedang. Dalam beberapa situasi, Muhammad saw memang menginstruksikan perang kepada para sahabatnya, namun hal itu harus dipahami dalam konteks yang sangat komplek. Pada dasarnya hal itu terpaksa dilakukan sebagai jalan terakhir untuk pembelaan diri terhadap pihak yang mengancam keamanan negara Madinah, dan itupun setelah turun wahyu yang membolehkan.
Fakta sejarah menunjukkan betapa Rasulullah menjamin dan melindungi kelompok-kelompok non muslim. “Barang siapa menyakiti golongan zimmi (warga non muslim) maka sama dengan menyakitiku” kata beliau. Toleransi ini tidak sebatas retorika, tetapi dibuktikan dengan sikap dan prilaku terbuka, mau berdialog dan jujur menerima perbedaan. Nabi pernah menerima rombongan Nasrani dari Najran untuk berdialog dalam persoalan keimanan. Momen paling mengesankan adalah ketika kaum Nasrani itu tidak mendapat tempat untuk bermalam, maka beliau membolehkan mereka menginap di dalam masjid. Tidak hanya itu, beliau bahkan membolehkan mereka melakukan kebaktian di dalamnya ketika waktu beribadat telah tiba. Atas dasar sikap pluralisme dan berlapang dada ini pula maka beliau sangat menghormati perbedaan pemahaman dan pengamalan Islam yang terjadi di kalangan para sahabatnya, baik mu’amalah keduniaan maupun ibadah ritual, bahkan dalam membaca lafal-lafal al-Qur’an sekalipun beliau memberi peluang perbedaan sepanjang masih memiliki makna sama. Seperti inilah teladan mulia yang dicontohkan oleh tokoh agung dan berjiwa besar. Sayangnya, hal ini kontras sekali dengan sikap sebagian muslim sekarang, yang telah kehilangan rasa percaya diri dan kedewasaan, sehingga selalu mengklaim diri paling benar dengan mengatasnamakan Tuhan, lalu menampilkan kekerasan, beringas dan brutal dalam menyikapi perbedaan pemahaman dan keyakinan.
Semoga pesan perdamaian dari padang ‘Arafah ini semakin meningkatkan pemahaman akan makna bulan haji, untuk menghormati hari Natal dan menyambut tahun baru yang akan datang. Amin waallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar