Belakangan ini kerukunan dan kebebasan beragama semakin terancam. Kekerasan demi kekerasan makin sering terjadi, sehingga suasana mencekam dan rasa takut dialami oleh sebagian anak bangsa ini di negeri mereka sendiri. Tindak kekerasan memang bersumber dari paham yang membolehkan bahkan mendorong kekerasan. Sikap kekerasan itu sendiri sering disebabkan pemahaman dangkal dan salah terhadap keyakinan orang lain. kesalahpahaman dan kedangkalan pemahaman inilah yang banyak terjadi terhadap kelompok Islam minoritas, termasuk Ahmadiyah.
Kekerasan bukan Solusi
Tindak kekerasan memang bersumber dari teologi kekerasan, yaitu suatu pemahaman keagamaan yang mendorong dan membolehkan tindak kekerasan atau pemaksaan terhadap orang lain yang berbeda paham agar mau tunduk atau ikut pada paham ideologi pihak yang memaksa. Teologi kekerasan ini meyakini semua yang berbeda dengannya adalah salah dan sesat sehingga harus dibasmi. Padahal dalam konteks keislaman, Allah Swt menegaskan tidak boleh ada pemaksaan dalam beragama, dan Konstitusi RI menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Pelarangan, pembubaran atau penghancuran tempat ibadah Ahmadiyah bukan saja melanggar HAM kebebasan beragama yang dijamin oleh UUD Negara RI dan PBB, tetapi juga melanggar prinsip-prinsip keislaman. Jelas sudah bahwa kekerasan yang dipertotonkan oleh sekelompok orang baru-baru ini sangat memalukan dan bukan dari ajaran Islam, karena bertentangan dengan makna Islam sendiri yang berarti “damai, selamat dan pasrah”, bukan penghancur dan anarkis. Bahkan lebih jelas lagi, keburukan di atas bertentangan dengan prinsip dasar dalam Islam yang menegaskan “tidak ada paksaan dalam agama” (la ikrah fi din). Oleh karena itu, dalam Islam ada lima pilar yang dijamin dan tidak boleh dilanggar, yaitu jaminan untuk beragama dan menjalankannya (hifz al-din), nyawa (hifz al-hayat), intelektual (hifz al-‘aql), harta (hifz al-mal) dan keturunan (hifz al-nasl).
Atas dasar itu, maka tidak ada hak satu mazhab atau aliran keislaman untuk melarang mazhab keislaman lainnya yang berbeda, sekalipun perbedaan itu dalam masalah pokok. Tidak ada hak mazhab Muhammadiyah, misalnya, untuk melarang ritual mazhab NU atau sebaliknya, hanya karena pihak lain dianggap berbeda atau menyimpang dari akidah pokok yang diyakini. Demikian pula tidak boleh kaum Ahlus Sunnah mengkafirkan kaum Syi’ah hanya karena rukun iman dalam Syi’ah berbeda (tauhid, keadilan, kenabian, kebangkitan dan imamiyah).
HAM yang melindungi semua kelompok agama, etnis, suku atau ideologi, adalah HAM universal. Sedangkan HAM yang hanya membela kelompok muslim tertentu hanyalah HAM lokal, sehingga tidak dapat dipakai untuk menolak atau mengusir pihak lain yang masih dalam satu rumpun agama yang sama, yaitu Islam. Memang ada kelompok keagamaan tertentu yang harus dihentikan aktivitasnya, namun bukan karena perbedaan paham atau cara ibadah, melainkan jika mereka mengajarkan kejahatan, kriminal atau kekerasan yang membahayakan masyarakat.
Oleh karena itu, teologi kekerasan sangat berbahaya jika terus dibiarkan berkembang. Di sinilah peran negara melalui aparat hukum harus berani bertindak tegas agar kekerasan tidak terulang dan tidak menjadi kebiasaan dalam menyelesaikan masalah.
Ahmadiyah yang Disalahpahami
Why dangkal dan salah paham ? karena kita sering menilai atau menudu suatu kelompok berdasarkan penafsiran kita sendiri dan bukan berdasarkan suara hati atau informasi langsung dan valid dari pihak yang dituduh. Demikian pula standar penilaian yang digunakan untuk menilai juga tidak adil dan timpang. Hal ini terjadi karena jelas standar dibuat berdasarkan kehendak atau pemaksaan pihak penilai tanpa melibatkan dan peduli dengan suara kaum yang dihakimi. Kezaliman juga terjadi karena tuduhan dilakukan tanpa dialog, kalaupun ada dialog maka dilakukan tidak imbang karena pihak minoritas sudah di bawah tekanan atau ancaman.
Nabi Muhammad Saw dalam hadisnya menjelaskan ada enam akidah pokok, yaitu percaya adanya Allah, malaikat, kitab-kitab suci, para rasul, hari kiamat, dan takdir baik atau buruk. Enam keyakinan yang disebut dalam berbagai sumber valid ini dipeluk oleh mayoritas muslim dan keyakinan ini pula yang dianut oleh kalangan Ahmadiyah. Oleh karena itu, sangat aneh jika ada dalam Islam umat yang menegaskan diri sebagai muslim, yang percaya pada Allah Swt dan al-Qur’an serta Nabi Muhammad Saw, seperti kaum Ahmadiyah, tetapi ditolak dan dikatakan bukan muslim, dan lebih kejam lagi jika harus diasingkan di satu pulau atau boleh (halal) dibunuh.
Sebenarnya doktrin rukun iman versi hadis tersebut bersifat terbuka, artinya menerima berbagai penafsiran yang sangat mungkin berbeda (khilafiyah). Perbedaan dalam hal-hal detil inilah yang terjadi di antara mayoritas muslim yang ada dengan minoritas muslim Ahmadiyah, sebagaimana perbedaan mazhab Ahlussunnah dengan mazhab Syi’ah. Tentang akidah pokok kenabian, misalnya, Nabi Muhammad Saw hanya menyatakan wajib percaya pada rasul-rasul (nabi-nabi). Persoalan apakah masih ada nabi atau tidak setelah Nabi Muhammad Saw adalah masalah penafsiran. Kaum Ahmadiyah ternyata mengambil penafsiran berbeda dan mengakui masih ada nabi setelahnya, walaupun hanya nabi kecil yang tidak membawa syari’at. Jadi model pemahaman seperti ini tidak perlu diributkan karena memang tidak bertentangan dengan ajaran prinsip (qath’i) dalam rukun iman tentang kenabian.
Al-Qur’an memang menyatakan Muhammad Saw sebagai Khatamun Nabiyyin. Namun lagi-lagi istilah itu masih banyak penafsiran. Pemaknaan populer memang mengartikannya sebagai “penutup para nabi”, sehingga diyakini tidak ada lagi nabi sesudahnya. Namun dalam pemaknaan lain, istilah itu dapat diartikan sebagai “cincin para Nabi”, maksudnya Muhammad Saw adalah seperti cincin pengikat dan pemersatu para nabi yang berbeda waktu dan tempat, baik sebelum maupun sesudahnya.
Kesalahpahaman serupa juga terjadi ketika Ahmadiyah dicap sesat karena memiliki kitab suci al-Qur’an yang berbeda dengan mayoritas muslim. Banyak penelitian membuktikan hal itu tidak benar dan hanya tuduhan serampangan. Sebenarnya al-Qur’an yang mereka baca adalah sama dengan yang ada umumnya, namun ada lagi kitab Tazkirah yang menjadi semacam tafsir al-Qur’an dan juga disakralkan. Hal serupa ada persamaannya dengan banyak kaum Sunni yang menganggap kitab hadis Sahih al-Bukhari juga sakral. Dengan demikian, sebenarnya perbedaan ajaran Islam Ahmadiyah dengan Islam lainnya tidak mendasar karena lebih banyak berkutat di persoalan penafsiran dan karena itu tidak boleh ada penghakiman, vonis sesat atau pengkafiran.
Dialog Adil dan Terbuka
Jika persoalannya lebih banyak disebabkan kesalahpahaman maka solusinya harus dibuka dialog seluasnya, terus menerus dan secara adil. Tanpa itu, maka kesalahapahaman akan terus terulang dan kekerasan akan tetap terjadi. Islam dialogis dan toleran inilah yang lebih sesuai dengan karakter budaya bangsa Indonesia. Sikap keterbukaan, bijak, toleran dan saling menghargai dalam perbedaan harus terus dipupuk karena akan membawa kedamaian. Kesadaran inilah yang dimiliki para tokoh muslim Indonesia puluhan tahun silam, baik dari kalangan NU atau Muhammadiyah, sehingga mereka selalu berdialog dengan tokoh-tokoh Ahmadiyah, dan tidak mau memilih penyelesaian dengan kekerasan. Hal ini dilakukan karena sadar bahwa pemahaman manusia tetap nisbi dan yang hakiki hanya ada pada Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar