TIRANI (UMAT) BERAGAMA
Respon Terhadap Kasus Salat ala Yusman Roy Cs
Oleh Alamsyah al-Banjari
(Ketua Program Ilmu Syari’ah IAIN Raden Intan Lampung)
Idealnya dalam salat tidak hanya membaca ayat-ayat atau zikir, dan tidak pula sekedar melakukan berbagai gerakan formalnya. Tetapi yang juga penting harus dilakukan adalah memahami makna substansi salat dan mengamalkannya dalam kehidupan nyata. Hal inilah mungkin menurut Yusman Roy Cs telah dilupakan banyak orang, sehingga ia berusaha untuk membangkitkannya kembali. Caranya, membaca ayat-ayat al-Qur’an sekaligus terjemahnya dalam salat, tanpa mengurangi satu syarat atau rukun. Jika memang ini tujuan yang diinginkan, walaupun ada yang tidak tepat, maka tidak semestinya mereka dicaci maki, dikutuk, dihujat, dituduh sesat, diintimidasi, diteror, dikafirkan, murtad, bahkan dipenjara sampai ancaman vonis kematian.
PROBLEMATIKA BERAGAMA
ALIANSI POLITIKUS - AGAMAWAN
Lebih berbahaya lagi jika upaya mayoritas ortodoksi ini berlanjut menjadi hegemoni, karena yang diinginkan bukan lagi dominasi sebatas wilayah tata cara ibadah ritual semata, melainkan juga mengukuhkan “kepemimpinan” dan membangun “kekuasaan”, dalam masyarakat luas, lewat kesuksesan mendapatkan pengaruh. Hegemoni ini tidak lagi sekadar keinginan kelompok dominan untuk memaksakan doktrinnya atas komunitas lain, tetapi juga menjadi “kekuatan otoritatif” yang harus diikuti seluruh masyarakat, sehingga memainkan peran sentral sebagai kepemimpinan moral yang berpengaruh dan menentukan hitam putih bagi semua golongan.
Kepemimpinan moral keagamaaan yang hegemonik akan menjadi kekuatan dominasi formal ketika bersekutu dengan kekuatan politik yang ada, baik bertujuan sama atau beda. Jika aliansi ini yang terjadi, maka kelompok dominan dan hegemonik dapat menggunakan alat kekuasaan dan kekuatan politik, bahkan cara kekerasan, dalam mempertahankan posisi maupun memaksakan fahamnya kepada kelompok yang lain yang dianggap berbahaya.
Kekuasaan kerap kali digunakan untuk membangun dominasi kaum tertentu atas kelompok lain, tidak terkecuali dalam agama. Wilayah politik menjadi alat bagi satu kelompok untuk mengkooptasi pihak lain, sehingga kemapanan dan penguasaan tetap berlanjut serta dominasi tidak tergugat.
Wilayah penafsiran atas teks juga dipagar seketat mungkin untuk memperkokoh faham mainstream. Kaidah interpretasi dan interpretator diikat serapat-rapatnya untuk mencegah tumbuhnya tafsir-tafsir menyimpang dan berbahaya. Lalu dimunculkan adagium-adagium yang mendeskreditkan satu pihak dan mensucikan pihak lain, misalnya istilah tafsir yang mu’tabar dan ghair mu’tabar, mazhab yang ……….., dst.
Penafsiran yang berbeda dengan mainstream dan melewati batas-batas universal yang utuh, dianggap sebagai tafsir pinggiran dan menyimpang. Lebih jauh lagi, para penganut tafsir yang menyimpang itu juga dikelompokkan sebagai komunitas pinggiran (marginal) dan tersisih. Praktek Islam yang mereka jalankan lantas dicap tidak murni, , dan karena itu harus disterilkan. Dalam kehidupan pun, kelompok yang mengamalkan ajaran “aneh” ini harus memisahkan diri, karena sering menjadi sasaran intimidasi dan tindakan opresif, bukan hanya secara sosial, tetapi juga secara politis dan kekuasaan.
Untuk lebih memperkuat posisinya, kelompok keagamaan yang hegemonik ini lalu menciptakan konsep-konsep dikotomis yang memvonis pihak lain, misalnya istilah lurus – sesat, selamat - celaka, mayoritas (jama’ah) dan sempalan (firqah), berbudaya tinggi-berbudaya rendah/primitif, dsb.
Apa yang terjadi pada kasus salat jemaah Yusman Roy di Malang merupakan gambaran asumsi di atas. Kelompok umat Islam yang telah mapan dalam doktrin ibadah salatnya merasa paling otoritatif untuk membuat standar kebenaran. Mereka berhak menjadi wasit dalam menilai salah dan sesat pihak lain yang berbeda dengan arus umum umat. Maka muncul klaim sebagai orang yang Islamnya paling murni, benar, lurus, dan selamat, lalu diikuti dengan garansi paling berhak masuk surga. Sedangkan pihak lain yang berbeda dicap sebagai salah, sesat, sempalan, menyimpang, inkar (mulhid), dan murtad, sehingga harus dikucilkan, bahkan dibunuh, dan dapat dipastikan mereka tidak akan selamat di akhirat.
Pada hakikatnya, hanya Tuhan yang mengetahui kebenaran sejati dan memiliki otoritas mutlak untuk memvonis selamat dan celaka, lurus dan sesat kepada hamba-Nya. Manusia saja tidak berhak menjadi pemutus tunggal atas hitam dan putihnya keyakinan orang lain, apalagi pemerintah lebih tidak boleh lagi turut campur tangan dalam menentukan benar dan tidaknya tata cara peribadatan seseorang. Oleh karena itu perselisihan di antara umat beragama tidak boleh dijadikan alasan intervensi pemerintah, apalagi pemihakan pada kelompok tertentu yang disukai dan menghukum kelompok lain yang divonis sesat.
Sebagian umat Islam seolah telah kehilangan akal sehat ketika melihat ada saudaranya yang lain mempraktekkan tata cara ibadah berbeda dari apa yang telah dikenal selama ini. Dengan motif untuk mempertahankan hegemoni dan dominasi doktrin keagamaan, maka perbedaan lantas dicurigai sebagai ancaman bagi kelangsungan status quo. Ijitihad dan penafsiran-penafsiran baru harus diwaspadai mengandung maksud terselubung sebagai lahan gerakan perlawanan dan pembangkangan, bahkan dikhawatirkan bisa menggeser kalangan elit kekuasaan (agama).
Dengan demikian, tangan-tangan politik memiliki peran sentral dalam marjinalisasi kelompok pinggiran. Atas nama penegakkan kebenaran atau ketentraman umat, yang tidak lain hanya dalih untuk penegakkan doktrin ortodoksi, maka pihak agamawan menggaget penguasa bersekutu dalam menghadapi wacana praktek kegamaan tertentu yang dinilai menyimpang dan membahayakan faham yang telah mapan. Di satu sisi, penguasa politik perlu bantuan kalangan agama dalam memperlancar tugas duniawi dan menghadapi pihak yang anti kemapanan. Sementara itu kalangan agamawan juga membutuhkan support dari penguasa untuk membentengi ketentraman umat dalam menjalankan ajaran ortodoknya dari ancaman faham-faham yang berbahaya dan menyesatkan.
Dalam sejarah Islam, misalnya, para penguasa Turki Saljuk pernah bekerja sama dengan ulama Fiqh Sunni dalam mengontrol berbagai ribath dan zawiyah yang menjadi tempat peribadatan asketis kaum sufi. Kontrol ketat dan sanksi berat dijatuhkan atas kelompok sufi yang dinilai mempraktekkan ritual sesat dan menyimpang di mata penguasa. (Azyumardi Azra, 2004).
Demikian pula Mu’tazilah, sebagai kalangan Islam rasional, dengan dukungan penguasa Imperium Abbasiyah pernah melakukan pemaksaan ideologis kepada kalangan yang berbeda faham serta menjalankan intimidasi bahkan penyiksaan kepada mereka yang menolak.
Persekongkolan antara kaum agamawan dan pihak politisi justru lebih banyak membawa konflik dan ketegangan, yang tidak jarang berakhir dengan tindak kekerasan, bahkan pertumpahan darah dengan pihak lain yang dicurigai berbahaya dan harus dikalahkan dan dipinggirkan.
Oleh karena itu kelompok-kelompok kecil pinggiran yang berseberangan dengan arus besar mayoritas, dianggap sebagai pembangkang, pemberontak, makar, sesat dan murtad. Orang-orang seperti ini harus dijatuhi hukuman mati.
Oleh karena itu yang muncul bukan lagi dialog yang saling mendengarkan dan memahami, tapi justru arogansi kekuasaan dan unjuk kekuatan oleh satu pihak.
Pada tingkat ini maka lahir berbagai kelompok terpinggirkan dan marjinal, yang tidak lagi memiliki otonomi dan kebebasan untuk berbeda, termasuk dalam menjalankan ibadah sesuai keyakinannya. Pada gilirannya kelompok ini akan menjadi sasaran penindasan dan dominasi pihak yang kuat.
Dalam situasi yang represif ini, kelompok pinggiran menjadi tidak berdaya dan terkekang, yang tidak jarang menjadi sasaran eksploitasi oleh yang kuat. Bukan hanya kehilangan kebebasan, yang lebih menyedihkan lagi mereka juga tidak dapat lagi bersuara. Jika masih juga coba-coba mengekspressikan keyakinannya, maka tindakan refressif sudah disiapkan, mulai dari caci maki, tudahan kebodohan, pengucilan, intimidasi, teror, sampai kepada hukuman penjara dan ancaman kematian.
Pemaksaan dogma keagamaan dan penindasan memang banyak membungkam perbedaan dan memberangus keragaman. Namun agama bukan wilayah teritorial kenegaraan yang dapat dijaga dengan kekuatan senjata. Agama adalah wilayah spiritual personal yang dibangun atas dasar kesadaran, pemahaman dan keyakinan. Maka pemaksaan ideologis atau spiritual hanya berlaku temporer dan berlaku di permukaan. Pada saatnya perlawanan akan bangkit, diam-diam atau terbuka, dari mereka yang terpinggirkan. Betapapun keras dan ketatnya doktrin atau tata cara ibadah yang dipaksakan, tetap akan terus bermunculan praktek atau suara pembangkangan. Bahkan tidak jarang ada yang rela mati demi mepertahankan keyakinan dan untuk tetap diberi ruang kebebasan dalam mengekspressikan agamanya. Apalagi jika sikap itu dilandasi keyakinan bahwa ajaran yang dilakukan masih merujuk kepada sumber yang satu, yaitu al-Qur’an.
Dalam literatur sejarah hukum keagamaan, eksisitensi pemikiran mazhab marjinal selalu tersisihkan. Mereka lebih dicurigai akan melakukan subversi atas pihak dominan, baik melalui pemikiran maupun praktek keagamaan yang dijalankan. Gagasan dan prilaku yang dikembangkan dianggap telah menantang dan mengancam status quo dari mainstream umat. Oleh karena itu, dalam sejarahnya perjalanan kaum pinggiran selalu tenggelam atau ditenggelamkan. Sejarah lebih berpihak kepada kelompok atau mazhab dominan yang umumnya berpusat atau dekat dengan lingkungan istana maupun wilayah elit lainnya, baik dari kalangan penguasa maupun kelompok ulama arus besar.
Dari sudut perspektif ini, tidak mengherankan jika umumnya literatur sejarah dan yurisprudensi hukum Islam (fiqh) penuh sesak dengan catatan doktrin materi hukum mazhab elit, dan mengabaikan atau hampir tidak memberi ruang yang adil kepada mazhab pinggiran, sehingga lambat laun hilang tertelan sejarah.
PERSOALAN INTERPRETASI
Jika ditakar secara harfiyah dengan hadis Nabi “salatlah kalian seperti kalian melihat saya salat”, memang cara solat Yusman Roy Cs tidak benar. Namun jika ditafsirkan lebih aplikatif, maka dapat diartikan perintah mengikuti berbagai gerakan dan bacaan seperti yang dipraktekkan beliau, dan dapat pula dimaknai perintah hanya mengikuti gerakan-gerakannya saja. Dua pemahaman ini memiliki peluang yang sama.
Kalaupun hadis Nabi di atas tetap dijadikan argumen sentral, justru dapat memperkuat kebolehan salat dengan dua bahasa. Mengapa ?, kenyataannya Nabi SAW dalam salatnya tidak hanya membaca ayat-ayat al-Qur’an yang berbahasa Arab, tetapi juga menambah doa-doa yang beragam dengan redaksi sendiri yang tidak ada dalam al-Qur’an. Tentunya doa beliau diucapkan dengan bahasa Arab, karena memang ia seorang Arab. Artinya bahasa bukan esensi persoalan yang harus diperdebatkan.
Dengan demikian, di antara substansi mengikuti Sunnah Rasul dalam tata cara salatnya ialah kebolehan menambah doa dalam salatnya, walaupun dengan bahasa sendiri, sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi SAW.
Jika menambah doa dalam salat dibolehkan, tentu pembacaan ayat-ayat al-Qur’an disertai terjemahnya dalam salat lebih terbuka dibolehkan. Oleh karena banyak ayat al-Qur’an, terutama al-Fatihah, berisikan doa maka membaca terjemahnya pun juga bagian dari berdoa.
Seandainya Nabi Muhammad SAW masih hidup, Beliau akan meneteskan air mata manakala melihat ada umatnya yang dikeroyok rame-rame dan diperlakuan kejam oleh saudaranya sendiri sesama muslim, mulai caci maki sampai ancaman pemubunuhan, hanya karena berbeda dalam tata cara pelaksanaan salat. Padahal salat yang dilakukan mereka tidak lain media untuk bertaqarrub kepada Allah SWT, dan substansi makna dari tata cara salat itu sendiri bermuara pada salam kedamaian bagi semua. Mengapa ajaran sopan santun, keramahan, kasih sayang, persaudaraan, perlindungan, dan toleransi, yang beliau ajarkan dan menjadi misi moral kerasulannya, telah dicampakkan oleh umatnya sendiri.
Penulis adalah Tenaga Pengajar IAIN Raden Intan Bandar Lampung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar