KONTEKSTUALISASI SUNNAH NABI DALAM KEHIDUPAN MODEREN
(KAJIAN DAN TERAPAN)
Oleh Alamsyah [1]
A. Pengantar
Kajian hadis Nabi pada zaman moderen, yang ditandai dengan rasionalisme, sains, dan positivisme, menghadapi tantangan berat. Problem tantangan bukan saja yang bersifat klasik seperti Inkarussunnah dan sebagian Orientalis-Islamolog yang picik, tetapi problem tersebut juga bersumber dari internal muhaddisin sendiri dengan pola kajian hadis yang stagnan dan rigid. Karakter Sunnah Nabi bersifat praktis (‘amali), detil (tafsīli) dan komplit (syumūli) lalu disimpulkan sebagai ajaran yang telah final, sehingga Sunnah nabi sulit menjadi sumber ajaran Islam yang relevan di setiap waktu dan tempat (salih li kulli zaman wa makan).
Agar kajian hadis Nabi kembali menjadi ilmu primadona dan mempesona, sebagaimana pada era klasik, maka ilmu hadis harus mampu melakukan peran yang signifikan dan memberikan kontribusi nyata bagi peningkatan nilai-nilai kemanusiaan. Untuk itulah, maka kajian pemahaman dan penerapan hadis Nabi di dunia moderen harus dikembangkan sesuai tuntutan konteks kekinian.
B. Ilmu Hadis dalam Bingkai Ilmu-Ilmu Keislaman
Sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan adalah Allah SWT yang Maha Tunggal dan Maha Mengetahui. Dia lalu menurunkan petunjuk dan pengetahuannya melalui dua macam sumber perantara; yaitu wahyu tertulis (kitab suci al-Qur’an) dan wahyu tidak tertulis (alam semesta atau kauniyah). Jika wahyu formal atau kitab suci lebih bersifat argumen deduktif apriori, maka wahyu kauniyah lebih berupa argumen data induktif empiris aposteriori. Dalam lingkup demikian, maka Sunnah Nabi menjadi metode sekaligus contoh praktis dari Nabi dalam mengimplementasikan dua sumber petunjuk tsb (Kitab suci dan kauniyah). Nabi Saw mendialektika-kan wahyu dan alam semesta.
Jadi Sunnah Nabi memiliki dua sisi, yaitu metode - pola (tariqah, manhaj) dan praktek - implementasi (‘amal, tathbiq). Sedangkan hadis hanya merupakan media berita atau informasi yang menyampaikan Sunnah Nabi kepada kita.
Oleh karena itu, maka yang perlu dikaji dan diteliti lebih dahulu memang adalah proses penyampaian informasi tentang Nabi kepada kita, dan kajian itu dinamakan ‘Ilmu al-Hadis (‘Ulum al-Hadis). Sedangkan tujuan pokok kajian hadis tersebut tidak lain untuk menemukan informasi Sunnah Nabi yang valid dan otentik, untuk kemudian dapat dipahami dan diamalkan secara tepat (relevan) di setiap waktu dan tempat (seperti dunia moderen saat ini). Skema tahapan kajian ‘Ilmu Hadis sampai kepada tahap menemukan Sunnah Nabi adalah Sejarah hadis - Kritik otentisitas – Fahmul Hadis – Tathbiq.
1
C. Pola Kajian Hadis Nabi
Seharusnya dua aspek Sunnah Nabi (metode nabi dan contoh prakteknya) dipelajari seimbang, namun ulama masa lalu lebih mengkaji aspek praktek yang bersifat harfiyah-teknis-sektoral, dan kurang memperhatikan aspek metode dan pola pikir Nabi yang bersifat substansi-komprehensif. Maka kajian Sunnah Nabi lebih terfokus mendalami berita tentang nabi dalam berbagai bentuknya: ucapan, perbuatan dan ketetapan Nabi. Akibatnya Sunnah Nabi Nabi pun menjadi hadis dan didefinisikan seperti hadis, yaitu “semua yang berasal/disandarkan kepada Nabi SAW baik ucapan, perbuatan, ketetapan, sifat, dan semisalnya”. Padahal hadis hanya media teks dan informasi yang dibawa periwayat dan ditransmisi dari satu generasi ke generasi berikutnya,[2] dan belum tentu menjadi Sunnah Nabi.[3] Apalagi ketika ilmu hadis diciutkan menjadi Ilmu Mushthalah al-Hadis, maka materi muatannya ikut mengerut hanya berkutat di seputar kajian sanad (exsternal aspect of hadith) seperti pengertian hadis, macam-macam hadis baik kualitas dan kuantitas, syarat-syaratnya, hadis palsu dan tanda-tandanya, dll, sehingga hampir melupakan tujuan pokok mempelajari hadis itu sendiri, yaitu menemukan Sunnah Nabi untuk kemudian dipahami secara tepat, dijadikan sumber ajaran Islam dan menerapkannya secara relevan.
Ketika ulama menghadapi gerakan pemalsuan hadis yang merajalela di masa lalu, maka dapat dimaklumi jika semua upaya energi mereka dikerahkan untuk mengatasinya, sehingga lebih banyak membahas validitas dan otentisitas hadis dari aspek sanad. Namun ketika hadis telah terkompilasi secara baik dalam berbagai literatur hadis (al-kutub al-khamsah, al-sittah, al-sab’ah, al-tis’ah, dst) dengan berbagai kategori kualitasnya, apalagi saat ini telah terprogram secara digital dalam berbagai software, maka sudah waktunya kajian hadis lebih diarahkan kepada bagaimana memahami dan menerapkan informasi dalam hadis secara tepat, sehingga benar-benar dapat menghidupkan Sunnah Nabi sebagai pedoman hidup.
Untuk dapat mengkaji secara ilmiah (sebagaimana imam al-Bukhari telah melakukannya dengan landasan niat ikhlas beliau untuk menghidupkannya), maka hadis harus diposisikan kembali sesuai dengan makna dasarnya, yaitu informasi, berita, media, yang saat ini berupa teks. Bagaimanapun, harus disadari bahwa penyusunan redaksi teks informasi tersebut lebih banyak merupakan hasil kreasi para periwayat (penerima dan penutur yang menyampaikan) yang lazim dinamakan al-riwayah bil makna, sesuai dengan tingkat pemahaman si rawi terhadap hadis yang diterimanya. Hanya sedikit teks redaksi hadis yang dituturkan para periwayat persis seperti diucapkan oleh Nabi SAW.
Artinya, memahami hadis harus memahami proses periwayatan, mulai dari konteks Nabi sebagai sumber munculnya hadis, konteks periwayat sebagai penutur berita hadis dalam berbagai aspeknya, dan konteks kita zaman sekarang sebagai pembaca yang akan memahami dan mengamalkannya. Oleh karena itu, pendekatan berbagai keilmuan baik sosial maupun kealaman sangat diperlukan dalam memahami hadis pada saat ini, termasuk pendekatan hermeneutika yang bagi sebagian orang dianggap “haram”. Dengan semakin integratif pola mengkaji suatu persoalan, maka semakin kecil peluang kekeliruan dan semakin besar kesempatan menemukan kebenaran.
Jika memang pendekatan multi disipliner dan interdisipliner yang harus dilalui, maka cara pemahaman hadis yang tepat untuk itu tidak lain adalah metode kontekstual dan bukan pemahaman harfiyah-tekstual. Pencarian substansi Sunnah Nabi inilah yang telah dilakukan umat Islam generasi awal (salaf) dan yang telah membawa mereka kepada kesuksesan dalam membangun peradaban, sains, ilmu keagamaan, sosial dan budaya.
D. Metode Umat Islam Masa Awal dalam Mmengamalkan Sunnah
Upaya penafsiran terhadap Sunnah Nabi telah terjadi sejak masa awal Islam. Ketika para sahabat pulang dari peperangan, maka Nabi SAW berpesan agar jangan ada sahabatnya yang salat Zuhur (sebagian riwayat menyatakan salat ‘Asar) di perjalanan kecuali setelah sampai di kampung bani Quraizah. Sebagian sahabat memang melakukannya, namun sebagian lainnya tetap salat di tengah perjalanan. Nabi SAW ternyata tetap membenarkan kedua kelompok sahabatnya.
Ketika dihadapkan kepada tantangan sosiologis dan politis yang semakin kompleks, maka ‘Umar ibn al-Khathab harus melakukan terobosan baru dalam membuat kebijakan dengan tetap berpedoman kepada Sunnah Nabi. Saat itu wilayah Islam semakin luas, keuangan negara melimpah, populasi meningkat yang diikuti penyempitan wilayah pertanian, di samping terjadi pertemuan dengan beragam kehidupan sosial budaya baru. Dalam situasi demikian, maka ‘Umar tidak memberikan tanah rampasan perang kepada pasukan muslim, padahal praktek di zaman Nabi SAW adalah diberikan. ‘Umat juga tidak menjatuhkan hukuman hadd potong tangan kepada pencuri yang melakukannya karena krisis paceklik, dan beliau juga pernah tidak memberikan hak zakat kepada mu’allaf.[4] Di sini ‘Umar bukan meninggalkan Sunnah Nabi apalagi menentangnya, namun beliau menafsirkan Sunnah Nabi secara kreatif untuk kemudian diterapkan secara tepat sesuai dengan tantangan yang dihadapi pada waktu itu. Walaupun secara lahiriah seolah ‘Umar telah meninggalkan Sunnah Nabi, namun pada substansinya beliau tetap mengaktualkan ruh dan misi Nabi SAW, yaitu menegakkan keadilan sosial.
Imam al-Qarāfī, ulama besar abad tengah (w. 684 H/1254 M) memperkenalkan 4 tipologi dalam memahami Sunnah Nabi, yaitu posisi Nabi sebagai: (1) seorang Nabi, (2) seorang mufti, (3) seorang hakim, dan (4) seorang kepala negara.[5] Dalam model pemahaman ini, keputusan Nabi dapat bersifat mengikat dan ada yang tidak lagi mengikat. Gagasan baru al-Qarāfi dalam memahami Sunnah ternyata didukung oleh ulama lain pada era ini bernama Ibn al-Qayyim al-Jaużiyah (w. 751 H).[6] Tokoh lain abad pertengahan yang menawarkan pemahaman baru terhadap fungsi dan otoritas Sunnah Nabi adalah Abū Isĥak al-Syāţibī (w. 790 H/1388 M), dengan konsep Al-Qur’ān berfungsi sebagai ta’şīl sedangkan Sunnah Nabi adalah sebagai tafsīl, sehingga melahirkan Maqāşid al-Syarī’ah. [7]
E. Tantangan Umat Islam di Dunia Moderen
Memasuki era moderen, umat Islam mulai bersentuhan dengan perkembangan baru dalam berbagai aspek kehidupan, seperti rasionalisme dan nasionalisme, dan perubahan sosial budaya. Anomali semakin terasa ketika umat Islam memasuki era globaliasasi dan informasi yang membawa berbagai gagasan seperti demokrasi, pluralisme, dan HAM. Dalam lingkungan masyarakat global ini, umat Islam tidak bisa lagi hidup ekslusif, monolitis, dan diskriminatif. Ajaran Sunnah dalam hadīs yang dibangun atas dasar epistemologi era klasik (teosentris, negara teologis, homogen, ekslusif) tentu banyak menghadapi persoalan ketika dihadapkan pada kasus atau gagasan baru yang dibangun atas dasar epistemologi moderen. Apalagi saat pemikiran tersebut lebih didominasi pola pikir pragmatis yang tegak di atas fondasi positivisme yang anti metafisis. Di sini nilai-nilai ajaran Sunnah ditantang untuk memberikan solusi yang logis-rasional namun tetap orisinal, sehingga Islam tidak dituding sebagai agama yang mengajarkan kekerasan, teror dan diskriminatif.
F. Membangun Kajian dan Pemahaman yang Relevan
Banyak pilihan dilakukan dalam memahami Sunnah, seperti reinterpretasi, takwil dan tekstual. Metode Re-interpretasi (secara jujur mengakui dan memahami sikon zaman Nabi apa adanya, sbg ijtihadnya, bisa benar dan salah, setelah dilihat dari berbagai ilmu soosial dan budaya thdp konteks waktiu itu- maka zaman sekarang dapat diamalkan jika sesuai dan boleh tidak jika tidk sesuai, misalnya hadis lalat. atau, memahami semua kebijakan nabi tetap tepat, sempurna, final, tidak salah, apapun dan bagaimanapun, namun teknik pengamalannya boleh beda dan disesuaikan dg zaman sekarang). Metode Ta’wil misalnya ditempuh oleh Muhammad syahrur dalam penafsiran hadistentang makanan dan inuman dengan produksi dalam negeri, sedangkan metode Tekstual dilakukan oleh sebagian muslim, khususnya ahli hadis, yang lebih mementingkan bentuk dan cara dari pada isi atau substansi.
Hal mendasar yang harus dikaji ulang dalam studi hadis adalah aspek Epistemologi Sunnah Nabi (sumber dan asal usul). Selama ini Sunnah Nabi hanya dilihat dari aspek praktis atau produk saja, sehingga Sunnah Nabi hanya didefinisikan sebagai bentuk dari ucapan atau perbuatan atau sikap tertentu dari Nabi Saw. Akibatnya, ketika Sunnah Nabi dipahami untuk diamalkan, maka yang muncul adalah pemahaman dan pengamalan secara lahiriah, tekstual dan tidak pernah ada perubahan walaupun tuntutan keadaan dan perubahan waktu terus terjadi. Seharusnya kemunculan suatu Sunnah Nabi lebih dilihat dari aspek metodenya sebagai ijtihad, bukan hasilnya. Untuk itu, Syahrur menyatakan Sunnah Nabi harus didefinisikan sebagai berikut:
“Ijtihād Nabi dalam menerapkan hukum-hukum yang terdapat di dalam Umm al-Kitab, baik berupa ĥudūd, ibadah, dan akhlak, dengan memperhatikan realitas obyektif di mana beliau hidup, berkisar di antara ĥudūd atau langsung mengambil ĥudūd yang telah ada, atau membuat ĥudūd sementara jika tidak ada di dalam al-Qur’ān”.
Beberapa karakter Sunnah Nabi dari batasan tersebut adalah:
(1) Sunnah Nabi adalah metode Nabi SAW yang bersifat deduktif dalam melaksanakan hukum yang terdapat dalam al-Qur’ān. Oleh karena itu, apa yang dinamakan sebagai Sunnah Nabi bukan teks, tentang ucapan, perbuatan atau ketetapan Nabi SAW sehari-hari yang bersifat harfiyah, sebab semua itu hanya merupakan bentuk-bentuk (syakl atau form) ekspresi atau perwujudan yang bersifat praktis dari pola pikir atau paradigma Sunnah Nabi tersebut, yang tidak lain adalah ijtihād beliau sendiri. Ekspresi dan ungkapan tersebut dapat selalu berubah-ubah, sementara pola dan paradigma pemikiran lebih bersifat tetap.
(2) Oleh karena Sunnah Nabi adalah metodenya dalam berijtihād, maka makna “mengikuti Sunnah Nabi” atau “mengikuti teladan (uswah) Nabi” tidak lain adalah mengikuti metode (manĥaj) ijtihādnya dan mewujudkan substansi dari tujuan Sunnah itu sendiri,[8] dan bukan mengikuti segala ucapan atau perbuatannya sehari-hari yang bersifat harfiyah, formal dan verbal. Mengikuti Sunnahnya dan “uswah hasanah”nya
(3) Sunnah Nabi adalah selalu terbuka untuk dikembangkan, dilengkapi bahkan dimodifikasi, sehingga penerapannya mudah dan ringan. Oleh karena Nabi SAW telah berijtihād dalam menerapkan ĥudūd yang terdapat di dalam al-Qur’ān atau berijtihād membuat aturan sementara bagi masalah yang tidak ada ĥudūd-nya dalam al-Qur’ān, maka apa yang telah ditetapkan dan dilakukan oleh beliau di Jazirah Arab abad ke 7 M hanya merupakan alternatif pilihan pertama (al-iĥtimāl al-awwal) dalam menegakkan ajaran Islam untuk pada periode historis tertentu. Oleh karena itu, apa-apa yang telah diputuskan dan ditetapkan oleh Nabi SAW pada saat itu bukan satu-satunya (al-wahīd) pilihan dan tidak pula sebagai putusan terakhir (al-akhīr), walaupun beliau merupakan penutup para Nabi dan rasul. Apa yang telah beliau lakukan tidak lain adalah dengan tujuan untuk memelihara kelangsungan misi kerasulan dan kenabian sampai hari kiamat.
Beberapa contoh hadis yang harus dipahami secara kontekstual, antara lain adalah tentang ketentuan Mahram bagi perempuan yang akan melakukan perjalanan tertentu. Hadis dimaksud berbunyi:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ ثَلَاثًا
إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ [9]
- Dalam struktur masyarakat moderen tidak boleh ada lagi pemaksaan dan diskriminasi berdasarkan agama, seperti konsep Dar al-Islam dan Dar al-Harbi atau Kafir Zimmi dan Kafir Harbi pada masa lalu.
Hadis tentang Hukuman mati bagi orang Murtad = Bukhari 2794
2794 عَنْ ابْنَ عَبَّاسٍ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ *
- Muslim minoritas yang tinggal di negara sekuler atau yang rawan konflik agama, harus menyesuaikan dalam pengamalan hadis tentang batasan aurat bagi perempuan atau bentuk hewan qurban.
- Di negara yang pluralisme dan sedang berkembang, seperti Indonesia, penerapan hadis yang tepat adalah kontekstual, seperti hubungan antara umat beragama:
Perlakuan terhadap non muslim = Muslim 4030
4030 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ فَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِي طَرِيقٍ
فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ
Pluralisme dalam Islam = Ahmad 22391
22391 عَنْ أَبِي نَضْرَةَ حَدَّثَنِي مَنْ سَمِعَ خُطْبَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي وَسَطِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ
وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ
وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلَّا بِالتَّقْوَى فَإِنَّ اللَّهَ
قَدْ حَرَّمَ بَيْنَكُمْ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ قَالَ وَلَا أَدْرِي قَالَ أَوْ أَعْرَاضَكُمْ أَمْ لَا
كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ
Menghormati jenazah non muslim = bukhari 1229
1229 قَالَ كَانَ سَهْلُ بْنُ حُنَيْفٍ وَقَيْسُ بْنُ سَعْدٍ قَاعِدَيْنِ بِالْقَادِسِيَّةِ
فَمَرُّوا عَلَيْهِمَا بِجَنَازَةٍ فَقَامَا فَقِيلَ لَهُمَا إِنَّهَا مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ أَيْ مِنْ أَهْلِ
الذِّمَّةِ فَقَالَا إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّتْ بِهِ جِنَازَةٌ
فَقَامَ فَقِيلَ لَهُ إِنَّهَا جِنَازَةُ يَهُودِيٍّ فَقَالَ أَلَيْسَتْ نَفْسًا
- Dalam politik tentang syarat-syarat pemimpin, larangan meminta jabatan, tentang perkawinan, tentang perempuan dan perlakuan terhadap mereka, tingginya angka kematian ibu yang melahirkan, dsb.
Misalnya hadis tentang perempuan tidak boleh menjadi pemimpin:
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً 11
Misalnya hadis tentang laknat Allah atas perempuan yang enggan melayani suami
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَلَمْ تَأْتِهِ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ 14
G. Penutup: Peran IAIN/UIN dalam kajian Hadis di era modern
Peran IAIN/UIN dalam pengembangan kajian hadis di Indonesia, sangat signifikan, apalagi dengan adanya jurusan Tafsir dan Hadis. Banyak tokoh besar hadis yang ternama muncul dari kalangan IAIN, seperti Hasbi as-shiddiqi dan Syuhudi Ismail. Sebenarnya kajian hadis di lembaga pendidikan tinggi di Indonesia memiliki karakter lokal keindonesiaan yang sekaligus menjadi keunggulan, karena dilakukan dengan interdisipliner, seperti pendekatan ilmu sosial dan budaya. Dengan demikian, maka kajian hadis semakin berkembang dan berkualitas, bukan hanya menjadi hapalan secara kuantitatif.
[1]Penulis adalah Dosen ‘Ulumul Hadis pada Fakultas Syari’ah dan Program Pascasarjana IAIN Raden Intan Bandar Lampung.
[2]Maka periwayatan hadis, baik menerima maupun menyampaikan, perlu kehati-hatian ekstra tinggi, agar tidak mengulang bagian sejarah kelam masa silam yang benyak terjadi manipulasi hadis di dalamnya.
[3]Maka ada istilah, “Imam Auza’i adalah ahli dalam hadis tetapi tidak ahli dalam sunnah, imam al-Tsauri adalah ahli dalam sunnah tetapi tidak dalam hadis, sedangkan imam Malik adalah ahli kedua-duanya”.
[4]Lihat Malik ibn Anas, al-Muwaththa’ (Kairo: 1951) Juz II, h.. 776.
[5]Lihat: Syihāb al-Dīn al-Qarāfi, Kitāb al-Furūq (Kairo: Dār al-Ma’rifah, tt) juz I, h. 105-208.
[6]Ibn al-Qayyim, Zad al-Ma’ad, juz III, h. 422.
[8] Lihat: Syahrur, NahwUshula l_Jadidah lil Fiqh al-Islami, Al-Ahali, Damaskus, 1992 , h. 106.
[9]Lihat dalam Sahih Muslim dengan hadis nomor 2381
Tidak ada komentar:
Posting Komentar