OPINI
JIHAD BUKAN KEKERASAN
Oleh Alamsyah al-Banjari
Wajah Islam Indonesia kembali tercoreng dengan prilaku umatnya sendiri. Dengan mengatasnamakan jihad dan amar makruf nahi munkar, sekelompok kecil muslim (FPI/LPI) memukuli saudara-saudara muslim lainnya yang dianggap sesat hanya karena perbedaan paham. Benarkah jihad dalam Islam mengajarkan paham kekerasan ?. Makna hakiki jihad adalah upaya sungguh-sungguh dalam melaksanakan sesuatu. Maka jihad dapat dilakukan dengan hati untuk melawan hawa nafsu kejahatan (jihad al-akbar), dapat dengan harta untuk mengentaskan kemiskinan, dan bisa dengan nyawa untuk pembelaan diri (defensif). Namun jihad sering dipersempit, disalahartikan bahkan disalahgunakan, sebagai alasan melakukan pemaksaan dan perbuatan anarkis. Bahkan ada yang sampai meng-halal-kan pembunuhan terhadap sesama muslim yang mereka anggap sesat atau murtad. Jelas tindakan demikian jauh dari hakikat, nilai, cita-cita, dan tujuan mulia dari jihad itu sendiri.
Munculnya sikap kasar dan anarkis dalam beragama, antara lain dilatarbelakangi pemahaman keliru bahwa jihad identik dengan peperangan. Masih banyak ulama tafsir, hadis, fikih klasik maupun moderen, yang membatasi jihad dalam makna peperangan dan pedang. Oleh karena pedang simbol perang, maka jihad diwarnai dengan kekerasan. Ulama hadis yang ternama, Ibnu Hajar al-Asqalani dan Muhammad bin Ismail al-Kahlani misalnya, memberikan definisi jihad sebagai badzl al-juhd fi qitâl al-kuffâr (mengerahkan kemampuan untuk memerangi orang-orang kafir). Demikian pula ulama fikih kontemporer seperti Wahbah al-Zuhaylî dalam bukunya, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu (1989: 413-414) mendefinisikan jihad sebagai “mengerahkan kemampuan dan kekuatan untuk memerangi dan melawan orang-orang kafir dengan jiwa, harta dan lisan (badzl al-wus’i wa al-thâqah fi qitâl al-kuffâr wa mudâfa’atihim bi al-nafs, wal mâl, wal lisân).
Bahkan bagi kalangan muslim radikal, makna jihad yang sebenar-benarnya hanya satu: “peperangan”. Atas dasar itu, Usamah Bin Ladin bersama jaringan Tandzim al-Qaidah menerapkan doktrin jihad dalam aksi-aksi kekerasan, di Indonesia dan berbagai tempat lainnya. Pandangan dan sikap demikian pula yang dikembangkan oleh berbagai organisasi Islam garis keras lainnya, seperti yang dipertontonkan FPI, baru-baru ini.
Jika kita membaca buku-buku atau mendengar ceramah agama kelompok ekstrim ini, maka bulu kuduk berdiri. Misalnya sebuah buku berjudul Tahrîdlul Mujâhidîn al-Abthâl ‘Alâ Ihyâ’i Sunnatil Ightiyâl (Mengobarkan Semangat Para Pahlawan-Pejuang untuk Menghidupkan Tradisi Pembunuhan) yang ditulis seorang ideolog kelompok Tandzim al-Qaidah bernama, Abu Jandal al-Azdi.
Jika kita mau merujuk kembali pada ayat-ayat Al-Quran, maka jihad bukan tindak kekerasan dan peperangan. Al-Quran menggunakan dua istilah yang berbeda namun maksudnya sering disamakan yaitu: jihâd dan qitâl. Jihâd berarti perjuangan dalam arti yang umum, sementara qitâl berarti peperangan. Maka, apabila Al-Quran menggunakan âyât al-jihâd (ayat-ayat jihad) artinya adalah perjuangan dalam makna yang umum, sementara bila menggunakan âyât al-qitâl wa al-sayf (ayat-ayat perang dan pedang) artinya sudah khusus yaitu peperangan. (misalnya Q.S. II: 216 dan Q.S. VIII: 65).
Oleh sebab itu, menurut Gamal al-Banna, dua istilah ini: jihad dan qital (berperang) harus dibedakan secara jelas dan tegas. Jihad tidak identik dengan qital, meskipun qital pada zaman Nabi merupakan salah satu bentuk dari jihad. Baginya jihad adalah mabda’ (prinsip) yang abadi dalam arti dan bentuk yang umum dan seluas-luasnya, sedangkan perang hanyalah wasilah (media sementara), yang tidak prinsipil, dan sangat situasional.
Hadis-hadis Nabi yang mengisahkan jihad dalam bentuk peperangan memiliki konteks khusus. Berbagai hadis tersebut merupakan kumpulan peristiwa yang terjadi pada periode Madinah. Maka dapat dipastikan bentuk jihad dalam berbagai hadis tersebut identik dengan konteks kecamuk peperangan. Walaupun demikian, berbagai peperangan yang dilakukan oleh Nabi SAW ini tetap dalam lingkup membela diri, dan bukan menyerang atau menghancurkan. Sedangkan jihad dalam periode Makkah, jelas sekali bukan peperangan, melainkan dakwah bijaksana. Maka tidak ada jihad perang dan kekerasan yang menjadi karakter Islam Makkah. Namun sayang, sejarah periode Makkah yang penuh hikmah kebijakan ini hilang (atau dihilangkan) dari catatan perjalanan Islam, sehingga menyebabkan pemahaman terhadap doktrin jihad menjadi “timpang”.
Untuk masa sekarang, “mengunci” makna jihad hanya sebagai peperangan, apalagi sebagai pembenaran untuk menghilangkan nyawa orang lain, adalah tindakan yang mengkerdilkan, melecehkan dan memanipulasi keagungan al-Qur’an. Demikian pula penggunaan jihad hanya untuk melayangkan sederet cap kafir, musyrik, murtad, dan tuduhan sesat secara membabi-buta pada golongan non-muslim atau pada musuh politiknya, merupakan penafsiran yang sewenang-wenang atas nama Tuhan dan al-Quran.
Oleh karena itu, dalam upaya membangun Indonesia yang plural ini, makna dan implementasi jihad harus dikembalikan kepada maksud substansinya, yaitu berbuat kemaslahatan untuk kedamaian dan kebebasan semua orang. Jihad bukan semangat berlomba dalam memerangi orang kafir, bukan pula dengan memukuli orang lain yang tidak bersalah, tidak berdosa, dan tidak tahu menahu, lebih-lebih lagi jihad bukan membunuh manusia dengan mangatasnamakan Tuhan. Jihad dengan memaksa orang lain supaya beriman seperti imannya si pemaksa, demikian pula intimidasi dalam beribadah, beragama dan berkeyakinan, hanya akan menciptakan masyarakat yang beriman palsu, lumpuh, dan hipokrit (munafik). Jelas masyarakat demikian tidak akan mampu menjawab tantangan dunia moderen, hidup tertutup, dan akan gagal membangun kemakmuran dan peradaban manusia yang hakiki.
Penulis adalah Ka. Prodi Ilmu Syari’ah Program Pascasarjana
IAIN Raden Intan Bandar Lampung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar